Oleh: Rudolfus Antonius
www.churchofjesuschrist.org |
Orang-orang Majus telah tiba di Yerusalem. Mereka datang
dari Timur. Di sana mereka telah melihat
Bintang, yang mereka baca sebagai sebuah pertanda bahwa seorang raja baru telah
lahir. Raja orang Yahudi! Bertolak dari tanah air, mereka menempuh jarak beribu
kilometer.
Akal sehat mengantar mereka
ke Yerusalem, pusat pemerintahan Yudea, negeri orang Yahudi. Tentulah raja yang
baru lahir itu dilahirkan di ibukota negara dan terbaring nyaman di dalam
istana nan megah, begitu pikir mereka. Mereka pun menghadap Herodes, raja Yudea.
Tentu raja yang baru lahir itu adalah putera mahkota Raja Herodes, kata mereka
saling berpandangan sembari melempar senyum gembira.
Para Majus kemudian
mengemukakan maksud kedatangan mereka. “Di manakah Raja orang Yahudi yang baru
dilahirkan itu? Kami datang untuk menyembah Dia,” kata mereka. Mendengar itu,
Herodes menjadi resah (etarachthê, dari tarassô; TB2-LAI: terkejut).
Demikian pula seluruh Yerusalem. Geger.
Bagi Herodes, ini sangat
serius. Apa pasal? Pertama,
saat ini dialah raja orang Yahudi. Kedua,
ia dapat memastikan tidak ada “raja yang baru lahir” apalagi “raja orang
Yahudi” di lingkungan istananya. Ketiga,
ia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksud dengan “raja orang Yahudi” yang
baru dilahirkan itu adalah Mesias, Raja yang Diurapi Yahweh, ilah Israel.
Padahal, Herodes menjadi raja tanpa urapan Yahweh!
Herodes pun segera
menyimpulkan: bila info para Majus benar, berarti kekuasaannya ada dalam bahaya
besar. Betapa tidak! Seorang pengincar atau perebut takhta baru saja
dilahirkan. Seorang rival bahkan musuh besar yang kelak akan menggulingkannya
dari takhta kekuasaan dan menjadi raja menggantikan dirinya! Musuh besar yang
justru akan dipuja oleh seluruh rakyat!
Ngomong-ngomong, siapa sih orang-orang Majus (magoi) itu? Ho-ho-ho, boleh jadi mereka para
penganut bahkan pemuka ajaran Zoroaster dari Persia. Kaum Majusi. Mungkin juga
mereka adalah ahli-ahli nujum. Bukankah mereka “membaca” Bintang dan
menyimpulkannya sebagai wahyu
keprabon? Bisa juga dua-duanya: Kaum Majusi sekaligus ahli-ahli nujum.
Pendeknya, mereka “kafir.” Tapi bagaimana bila nujuman mereka benar?
Herodes tak mau ambil risiko.
Ia bertindak cepat. Ia segera mengumpulkan “para imam kepala dan ahli-ahli
Taurat bangsa Yahudi.” Ya, para pemuka Agama dan sarjana-sarjana Kitab Suci
bangsa Yahudi. Pendeknya, para ulama (=kaum berilmu) dari kalangan kaum
beriman. Herodes ingin mengkonfirmasi (atau mengkonfrontir)
nujuman tersebut dengan nubuatan dari Kitab Suci. “Di mana Mesias akan
dilahirkan?” tanya Herodes kepada para ulama Yahudi.
“Di Betlehem di tanah Yudea,”
jawab mereka, serempak. “Sebab,” sambung mereka, “demikianlah tertulis dalam
kitab nabi (Mikha 5.1): Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali
bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari
engkaulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku
Israel.”
Mendengar itu, Herodes segera
menyimpulkan: celaka, nujuman para Majusi itu ternyata terkonfirmasi oleh
nubuatan Nabi! Berusaha tenang, Herodes mengadakan pertemuan tertutup dengan
para Majus. Dengan teliti ia menanyakan kapan bintang itu tampak. Ho-ho, ia berusaha
memperkirakan usia raja Yahudi yang baru dilahirkan itu. Berdasarkan keterangan
para Majus itu, ia menyimpulkan bahwa usia raja baru tersebut tidak lebih dari
dua tahun… (lihat Matius 2.16).
Rupanya Herodes memberitahu
mereka bahwa “raja orang Yahudi” itu dilahirkan di Betlehem. Tentu bukan tanpa
tujuan. Sebab kemudian ia menyuruh mereka ke sana untuk menemukan Dia, lalu
kembali kepadanya untuk memberitahukan di mana raja yang baru dilahirkan itu
berada. “Supaya aku pun datang menyembah Dia,” katanya, culas.
Para Majus pun bergegas ke
Betlehem. Ajaib, Bintang yang telah mereka lihat di Timur itu kini terlihat
lagi. Berdasarkan panduan Bintang itu, yang “mendahului mereka hingga tiba dan
berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada,” akhirnya mereka menemukan
“raja orang Yahudi” yang baru dilahirkan itu. Di rumah rakyat jelata, bukan di
istana raja!
Mereka masuk ke dalam rumah
itu. Mereka melihat seorang anak laki-laki bersama seorang perempuan. Yesus dan
Maria, ibu-Nya. Sangat bersahaja. Tapi mata para “pembaca Bintang” cukup awas
untuk “melihat” kemuliaan Sang Anak. Kemuliaan Raja orang Yahudi, Sosok yang
mereka cari selama ini. Dua tahun sudah mereka mengembara, akhirnya bersua pula
dengan Yang Didamba! Pencarian panjang yang bermuara dalam saat yang mulia dan
bahagia.
Betapa para Majus
bersukacita. Mereka sujud menyembah Anak itu. Mereka juga mempersembahkan
kepada-Nya mas, dupa, dan mur – yang telah mereka siapkan dan bawa khusus untuk
diri-Nya. Suatu persembahan bagi Paduka yang Mulia, yang bersemayam dalam
kesederhanaan! Sebuah liturgi berunsur dua, yakni penyembahan dan persembahan,
yang menjadi puncak dari pencarian yang panjang! Pencarian yang dilakukan oleh
orang-orang yang biasa diberi label “kafir” oleh orang-orang yang merasa beriman
kepada Allah!
Di lain pihak, Herodes yang
resah agaknya sangat menyesal karena telah melepas para Majus tanpa pengawalan
tentaranya. Sekarang ia harus menunggu mereka kembali – suatu hal yang tidak
akan terjadi, karena para Majus itu bertolak pulang ke negeri mereka melalui
jalan lain. Sesungguhnya, will
to power telah merasuki
dirinya.
Sementara itu, para ulama
Yahudi di Yerusalem, yang barusan membaca nubuatan Nabi tentang Yang Terjanji,
tetap asyik dengan kemapanan mereka. Mereka tak peduli bahwa Yang Terjanji
telah Menjadi. Ironis. Orang-orang yang mereka tuding sebagai kafirlah yang
mengalami betapa Yang Terjanji adalah Yang Menjadi!
Jelas, kelahiran Gusti Yesus,
Sang Terjanji itu, telah membangkitkan berbagai tanggapan:
Pertama,
liturgi sukacita para “kafir.
Kedua,
keresahan para pemuja will to
power.
Ketiga,
sikap acuh tak acuh “kaum beriman” yang belum merasa terusik apalagi resah
senyampang Sang Anak belum menggelar sebuah gerakan yang akan menantang status quo sehebat-hebatnya!
Selamat Natal!
Lemah Abang, 25-26 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar