Matius 2.12-18
Oleh: Rudolfus
Antonius
The Massacre of the Innocents www.1st-art-gallery.com |
Sejurus
waktu rumah itu dipenuhi dengan sukacita dan suasana khidmad. Para Majusi sudah
berjumpa dengan yang mereka cari: “Anak itu,” yang bagi mereka adalah Raja
orang Yahudi yang baru dilahirkan. Tapi langit Betlehem yang semula cerah berbintang
terang segera berubah rupa segera hilang ditelan kegelapan yang mengerikan.
Para Majusi yang kelelahan sontak terjaga. Demikian pula Yusuf, laki-laki yang
tabah dan bertakwa itu.
Dalam
lelap yang sekejap, para Majus beroleh petunjuk ilahi melalui mimpi. Mereka
diperingatkan untuk tidak kembali kepada Herodes, raja Yudea, di keraton
Yerusalem. Mereka diperintahkan untuk kembali ke negeri mereka, di sebelah
Timur, melalui jalan lain. Di saat yang bersamaan, Yusuf pun bermimpi. Malaikat
Tuhan nampak kepadanya, seperti dulu.
Bangunlah,
ambillah Anak itu serta ibu-Nya,
larilah ke Mesir
dan tinggallah
di sana sampai Aku berfirman kepadamu,
karena Herodes
akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia (Matius 2.13).
Mimpi
para Majusi dan mimpi Yusuf memiliki titik temu: Herodes. Para Majus pasti tak
lupa, bahwa saat bertemu dengan Herodes di keraton Yerusalem, raja itu meminta mereka
untuk pergi ke Betlehem untuk menemukan “Anak itu” dan kembali kepadanya.
Alasannya: “Aku juga akan datang ke sana untuk menyembah Dia” (Matius 2.8). Tetapi,
setelah berjumpa dengan “Anak itu,” melalui mimpi mereka diperingatkan untuk
tidak kembali kepada raja Yudea itu. Sebab, sebagaimana dinyatakan malaikat
Tuhan kepada Yusuf melalui mimpi, Herodes memang akan mencari “Anak itu.” Tapi
bukan untuk menyembah, melainkan untuk membunuh Dia! Wahyu keprabon mendatangkan sukacita dan suasana khidmad di hati
yang satu, tapi membangkitkan angkara murka di hati yang lain – hati yang telah
dirasuki oleh will to power!
Sementara
kegelapan yang pekat mengerikan berangsur menggantikan malam cerah berbintang
terang, para Majusi dan Yusuf, bersama “Anak itu serta ibu-Nya,” bergegas
meninggalkan rumah itu. Mereka sama-sama bermaksud menghindari Herodes. Para
Majusi akan kembali ke negeri mereka di sebelah Timur melalui jalan lain.
Yusuf, “Anak itu” serta ibunya akan lari ke Mesir. Dengan cara atau jalan masing-masing,
mereka terlibat dalam upaya menyelamatkan
“Anak itu” dari cakar dan rahang maut Herodes! Sesungguhnya, Al-Masih, yang “akan
menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” dan yang melalui Dia “Allah beserta
kita,” pertama-tama harus lebih dulu diselamatkan dari angkara-murka seorang
penguasa yang merasa terancam.
Setelah
menunggu sejurus waktu, menjadi jelas bagi Herodes bahwa para Majusi tidak akan
kembali kepadanya untuk menyampaikan informasi tentang keberadaan “Anak itu.” Menyimpulkan
bahwa ia telah diperdaya oleh para Majusi, ia menjadi sangat marah. Dengan
amarah berkobar, ia memerintahkan orang-orangnya (alat-alat kekerasan negara!) untuk
menggelar operasi pembersihan di Betlehem dan sekitarnya. Target mereka: semua
anak yang berumur dua tahun ke bawah!
Sesuai
dengan waktu yang ditanyakannya dengan teliti kepada para Majusi, ia
memperkirakan bahwa usia “Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu” tak lebih
dari dua tahun. Tapi karena tidak tahu yang mana “Anak itu,” ia memutuskan
untuk membunuh semua anak dalam usia itu. Operasi pembersihan yang
berdarah-darah. Tumpas kelor! Kerasukan will
to power, Herodes telah membuat dirinya menjadi penjelmaan angkara murka.
Derap
kaki-kaki kuda menerobos malam yang telah beralih dari terang berbintang
menjadi pekat mengerikan. Dengan pedang-pedang berkilat, utusan-utusan si
penguasa lalim bergerak menebar bencana. Jerit tangis pecah tatkala para
orangtua tanpa daya menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bayi-bayi
mereka disembelih oleh robot-robot bernyawa namun tak berjiwa. Bayi-bayi yang
berlumuran darah tenggelam dalam dekapan duka orangtua jelata yang larut dalam
sedu-sedan memilukan. Bentak teriak para pembunuh dan seruan memanggil nama
Allah untuk memohonkan pertolongan-Nya seolah menjadi nyanyian malam yang menyayat-nyayat
hati penduduk Betlehem dan sekitarnya. Sukacita dan suasana hikmat yang pernah
berlangsung di satu sudut Betlehem lenyap disapu oleh banjir darah dan air mata.
“Operasi
penyelamatan” yang tergopoh-gopoh atas Al-Masih disusul dengan “operasi
pembersihan” yang berdarah-darah atas semua bocah sebaya. Operasi penyelamatan
yang berbiaya sangat mahal, yang harus dibayar bukan hanya oleh orang-orang
berkehendak baik seperti para Majusi, Yusuf, dan Maria, tetapi juga oleh sekian
banyak orangtua dan bayi-bayi mereka yang tidak tahu apa-apa! Sungguh, sebelum “menyelamatkan
umat-Nya dari dosa mereka,” sebelum “menyerahkan nyawa sebagai tebusan bagi
banyak orang,” Al-Masih harus lebih dulu diselamatkan oleh sekian banyak orang!
Epifania,
“pewahyuan Yesus sebagai Tuhan dan Raja kepada dunia,” bukan semata penyataan
kemuliaan yang disambut dengan sukacita dan sikap takzim para Majusi. Epifania
juga merupakan pewartaan awal bahwa “takdir” Gusti Yesus berkait-kelindan
dengan “nasib” banyak orang pinggiran: orang “Kafir” (para Majusi), “orang
benar” (dikaios) yang setelah
perjuangannya yang heroik sirna ilang
dari lembaran-lembaran Injil (Yusuf), “ibu-Nya” (Maria), dan rakyat jelata yang
tertindas, yakni para orangtua dan bayi-bayi mereka di Betlehem dan sekitarnya
yang menjadi korban kezaliman penguasa. Epifania adalah pewahyuan kemuliaan
Al-Masih dalam duka yang mendera dan luka yang menganga!
Selamat
memperingati Hari Epifania, 6 Januari 2020!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar