liberationist.org |
Rudolfus Antonius
Lemah Abang, 21 Maret
2020
Utang,
opheilêma. Pelanggaran, paraptôma. Berbuat dosa atau berbuat
salah, hamartanô. Itulah tiga istilah
yang kita temukan dalam ajaran Gusti Yesus tentang pengampunan. Ketiga istilah
tersebut merujuk pada penyebab terganggunya hubungan manusia dengan Allah dan
manusia dengan sesamanya.
Sebagai
orang yang tidak asing dengan massa rakyat yang “susah resah dan kapiran” (eskulmenoi kai errimmenoi, Matius 9.36;
TB-LAI: “lelah dan telantar”), Gusti Yesus tahu banyak wong cilik berutang karena terpaksa. Ya, terpaksa: untuk menyambung
hidup mereka sekeluarga. Sekali berutang, wong
cilik ada dalam posisi yang semakin sukar. Relasi sosial yang tidak sepadan
menjadi kian tidak seimbang. Bila saat jatuh tempo ia tidak bisa melunasi
utangnya, penjara atau perbudakan sudah menantinya. Si pelepas utang (kreditor)
berhak menjebloskannya ke dalam penjara sampai ia (sebagai debitor) melunasi
utangnya. Atau, alternatifnya, si kreditur berhak menjadikan si debitur yang wong cilik itu (berikut isteri dan
anak-anaknya) budak atau menjualnya sebagai budak!
Laki-laki
Bersandal dari Nazaret itu tahu ada debitor dan kreditor di antara para pengikut-Nya.
Ia ingin agar para kreditor bisa rumangsa:
jangan memanfaatkan orang susah demi menangguk keuntungan, jangan memperbesar
kesusahannya. Ia bukan sekadar mengingatkan mereka untuk tidak membebankan
bunga kepada orang yang terpaksa berutang (lihat Keluaran 22.25). Dengan
semangat Tahun Sabat (lihat Ulangan 15.1-2), lebih jauh Ia meminta para
kreditor untuk menghapuskan piutang dan dengan demikian membebaskan wong cilik dari beban utang mereka. Dengan
demikian wong cilik terhindar dari
kesusahan yang lebih besar: penjara atau menjadi budak belian. Dalam
kata-kata-Nya, “… seperti kami membebaskan orang yang berutang kepada kami” (hos kai hêmeis aphêkamen tois opheiletais
hêmôn, Matius 6.12b; TB-LAI: seperti kami juga mengampuni orang yang
bersalah kepada kami).
Gusti
Yesus mengingatkan bahwa dalam artian tertentu para kreditor itu adalah debitor
juga. Dalam satu atau lain cara sebenarnya mereka berutang kepada Allah. Dengan
berbuat dosa, mereka berutang kepada Allah. Bila jujur mengintrospeksi diri,
mereka akan mendapati hidup mereka dibebani dosa yang banyak, besar, dan berat.
Jelas, cepat atau lambat mereka harus melunasi utang-utang dosa tersebut. Tapi
mungkinkah mereka melunasinya? Mustahil. Sebab utang dosa mereka terlalu
banyak, besar, dan berat!
Lantas
bagaimana? Gusti Yesus tahu, mereka butuh pengampunan. Itu berarti: penghapusan
utang dosa atau pembebasan mereka dari utang dosa. Allah sajalah yang sanggup
melakukannya. Karena itu, Ia mengajar mereka berdoa, “Bebaskanlah kami dari
utang-utang kami…” (aphes hêmin ta
opheilêmata hêmôn, Matius 6.12a; TB-LAI: ampunilah kami akan kesalahan
kami).
Jelas:
para kreditor adalah debitor-debitor di hadapan Allah. Mereka berpiutang kepada
wong cilik, sekaligus berutang kepada
Allah. Mereka tidak dapat membayar utang-utang dosa mereka kepada Allah karena
saking banyak, besar, dan beratnya. Mereka hanya dapat berharap agar Allah
merasakan penderitaan mereka (splanknizomai,
18.27), mengasihani mereka (eleeô,
18.33), dan mengampuni atau membebaskan mereka dari utang-dosa mereka (aphiêmi, 6.12a; 18.27). Akan tetapi,
mereka juga harus melakukan hal yang sama berkenaan dengan utang wong cilik, para debitor mereka (6.12b;
18.33). Jika tidak, jangan harap Allah berkenan mengampuni mereka. Jelas, dalam
pandangan Gusti Yesus, Allah menghendaki fairness.
Mereka yang ingin dibebaskan Allah dari utang-dosa kepada-Nya, harus
membebaskan wong cilik dari utang
kepada mereka.
Gusti
Yesus memperluas prinsip ini dalam hubungan sosial yang tidak (secara langsung)
bersifat ekonomi. Ada kalanya perbuatan seseorang melampaui batas hingga merugikan sesamanya, atau berbuat salah kepadanya. Sangat mungkin
murid Gusti Yesus mengalami perlakuan yang tidak benar dan merugikan dirinya.
Menanggapi hal itu, murid Gusti Yesus hendaknya mengampuni “tindakan yang
melampaui batas” itu (paraptômata,
6.14a; TB-LAI: kesalahan).
Itu
dilakukan murid Gusti Yesus dengan kesadaran bahwa ia sendiri sering melampaui
batas atau melakukan pelanggaran di hadapan Allah. Ia sadar bahwa dirinya membutuhkan
dan menginginkan pengampunan dari Allah. Ia juga menyadari bahwa orang yang
melampaui batas itu juga sejatinya membutuhkan pengampunan. Ia ingin bersikap fair: diampuni Allah dan mengampuni
sesama. Ia berpegang pada perkataan Gusti Yesus, “Jikalau kamu mengampuni pelanggaran-pelanggaran
(paraptômata, TB-LAI: kesalahan) orang,
Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak
mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (6.14-15). Karena
itu, meski tidak mudah, murid Gusti Yesus akan berusaha agar dari hatinya
mengalir pengampunan bagi orang itu (lihat 18.35). Termasuk bila yang
bersangkutan, karena berwatak lemah, bolak-balik berbuat salah (hamartanô) kepadanya!
Dengan
pengajaran tentang pengampunan, murid-murid Gusti Yesus diajak untuk bersikap fair: diampuni dan mengampuni! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar