Kamis, 26 Maret 2020

PRA-PASKAH IV 2020: DIAMPUNI, MENGAMPUNI

liberationist.org
Matius 6.12, 14-15; 18.21-35

Rudolfus Antonius

Utang, opheilêma. Pelanggaran, paraptôma. Berbuat dosa atau berbuat salah, hamartanô. Itulah tiga istilah yang kita temukan dalam ajaran Gusti Yesus tentang pengampunan. Ketiga istilah tersebut merujuk pada penyebab terganggunya hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.

Sebagai orang yang tidak asing dengan massa rakyat yang “susah resah dan kapiran” (eskulmenoi kai errimmenoi, Matius 9.36; TB-LAI: “lelah dan telantar”), Gusti Yesus tahu banyak wong cilik berutang karena terpaksa. Ya, terpaksa: untuk menyambung hidup mereka sekeluarga. Sekali berutang, wong cilik ada dalam posisi yang semakin sukar. Relasi sosial yang tidak sepadan menjadi kian tidak seimbang. Bila saat jatuh tempo ia tidak bisa melunasi utangnya, penjara atau perbudakan sudah menantinya. Si pelepas utang (kreditor) berhak menjebloskannya ke dalam penjara sampai ia (sebagai debitor) melunasi utangnya. Atau, alternatifnya, si kreditur berhak menjadikan si debitur yang wong cilik itu (berikut isteri dan anak-anaknya) budak atau menjualnya sebagai budak!

Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu tahu ada debitor dan kreditor di antara para pengikut-Nya. Ia ingin agar para kreditor bisa rumangsa: jangan memanfaatkan orang susah demi menangguk keuntungan, jangan memperbesar kesusahannya. Ia bukan sekadar mengingatkan mereka untuk tidak membebankan bunga kepada orang yang terpaksa berutang (lihat Keluaran 22.25). Dengan semangat Tahun Sabat (lihat Ulangan 15.1-2), lebih jauh Ia meminta para kreditor untuk menghapuskan piutang dan dengan demikian membebaskan wong cilik dari beban utang mereka. Dengan demikian wong cilik terhindar dari kesusahan yang lebih besar: penjara atau menjadi budak belian. Dalam kata-kata-Nya, “… seperti kami membebaskan orang yang berutang kepada kami” (hos kai hêmeis aphêkamen tois opheiletais hêmôn, Matius 6.12b; TB-LAI: seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami).

Gusti Yesus mengingatkan bahwa dalam artian tertentu para kreditor itu adalah debitor juga. Dalam satu atau lain cara sebenarnya mereka berutang kepada Allah. Dengan berbuat dosa, mereka berutang kepada Allah. Bila jujur mengintrospeksi diri, mereka akan mendapati hidup mereka dibebani dosa yang banyak, besar, dan berat. Jelas, cepat atau lambat mereka harus melunasi utang-utang dosa tersebut. Tapi mungkinkah mereka melunasinya? Mustahil. Sebab utang dosa mereka terlalu banyak, besar, dan berat!

Lantas bagaimana? Gusti Yesus tahu, mereka butuh pengampunan. Itu berarti: penghapusan utang dosa atau pembebasan mereka dari utang dosa. Allah sajalah yang sanggup melakukannya. Karena itu, Ia mengajar mereka berdoa, “Bebaskanlah kami dari utang-utang kami…” (aphes hêmin ta opheilêmata hêmôn, Matius 6.12a; TB-LAI: ampunilah kami akan kesalahan kami).

Jelas: para kreditor adalah debitor-debitor di hadapan Allah. Mereka berpiutang kepada wong cilik, sekaligus berutang kepada Allah. Mereka tidak dapat membayar utang-utang dosa mereka kepada Allah karena saking banyak, besar, dan beratnya. Mereka hanya dapat berharap agar Allah merasakan penderitaan mereka (splanknizomai, 18.27), mengasihani mereka (eleeô, 18.33), dan mengampuni atau membebaskan mereka dari utang-dosa mereka (aphiêmi, 6.12a; 18.27). Akan tetapi, mereka juga harus melakukan hal yang sama berkenaan dengan utang wong cilik, para debitor mereka (6.12b; 18.33). Jika tidak, jangan harap Allah berkenan mengampuni mereka. Jelas, dalam pandangan Gusti Yesus, Allah menghendaki fairness. Mereka yang ingin dibebaskan Allah dari utang-dosa kepada-Nya, harus membebaskan wong cilik dari utang kepada mereka.

Gusti Yesus memperluas prinsip ini dalam hubungan sosial yang tidak (secara langsung) bersifat ekonomi. Ada kalanya perbuatan seseorang melampaui batas hingga merugikan sesamanya, atau berbuat salah kepadanya. Sangat mungkin murid Gusti Yesus mengalami perlakuan yang tidak benar dan merugikan dirinya. Menanggapi hal itu, murid Gusti Yesus hendaknya mengampuni “tindakan yang melampaui batas” itu (paraptômata, 6.14a; TB-LAI: kesalahan).

Itu dilakukan murid Gusti Yesus dengan kesadaran bahwa ia sendiri sering melampaui batas atau melakukan pelanggaran di hadapan Allah. Ia sadar bahwa dirinya membutuhkan dan menginginkan pengampunan dari Allah. Ia juga menyadari bahwa orang yang melampaui batas itu juga sejatinya membutuhkan pengampunan. Ia ingin bersikap fair: diampuni Allah dan mengampuni sesama. Ia berpegang pada perkataan Gusti Yesus, “Jikalau kamu mengampuni pelanggaran-pelanggaran (paraptômata, TB-LAI: kesalahan) orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (6.14-15). Karena itu, meski tidak mudah, murid Gusti Yesus akan berusaha agar dari hatinya mengalir pengampunan bagi orang itu (lihat 18.35). Termasuk bila yang bersangkutan, karena berwatak lemah, bolak-balik berbuat salah (hamartanô) kepadanya!

Dengan pengajaran tentang pengampunan, murid-murid Gusti Yesus diajak untuk bersikap fair: diampuni dan mengampuni! ***



Lemah Abang, 21 Maret 2020

Tidak ada komentar: