beccajrt.blogspot.com |
Matius 27.45-49
Rudolfus
Antonius
Dalam
satu hari, penderitaan demi penderitaan silih berganti mendera Laki-laki Bersandal
dari Nazaret itu. Sifatnya psikis dan fisik. Penyebabnya kelemahan karakter
para murid, kepentingan para penguasa, kesewenang-wenangan aparat kekerasan,
dan “mulut usil” berbagai pihak.
Murid-murid
Yudas,
salah seorang murid, telah menyerahkan-Nya ke tangan para penguasa Yahudi.
Petrus, Yakobus, dan Yohanes, tiga murid terdekat, gagal memberikan dukungan
moril dan spiritual yang diminta-Nya saat kesedihan yang amat sangat
mencekam-Nya. Di kala Ia bergumul sebelum memutuskan untuk menaati kehendak Bapa-Nya,
ketiga mereka malah tertidur lelap. Tak lama kemudian, melihat Dia ditangkap
tanpa perlawanan oleh “serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung”
(26.47), semua murid melarikan diri meninggalkan Dia (26.56b). Akhirnya Petrus,
yang pernah mengakui bahwa Yesus adalah “Mesias, Anak Allah yang Hidup,”
menyangkal Dia sampai tiga kali tak jauh dari rumah Imam Besar, tempat para
penguasa Yahudi mengadili Yesus (26.58, 69-74).
Para Penguasa
Yahudi
Kaum
penguasa Yahudi, yang terdiri dan para imam kepala dan seluruh Sanhedrin,
mengadili Yesus dengan tujuan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya. Untuk
itu mereka menghadirkan saksi-saksi dusta (26.3-5, 59-61). Akhirnya Sanhedrin
menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya setelah Yesus menjawab secara afirmatif
pertanyaan Imam Besar bahwa Ia adalah Mesias, Anak Allah, bahkan menandaskan,
“Mulai dari sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang
Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (26.62-66). Sejumlah anggota
Sanhedrin meludahi muka-Nya, meninju-Nya, dan memukul sambil menghina Dia
(2.67-68).
Pilatus
Paginya,
setelah sepakat tentang cara membunuh Yesus, mereka memperhadapkan-Nya dalam
keadaan terbelenggu kepada Pilatus, gubernur (ho hêgemôn) Yudea. Mereka bermaksud meminjam tangan Pilatus untuk
mengeksekusi Yesus. Pilatus, yang tahu bahwa para imam kepala dan tua-tua
Yahudi menyerahkan Yesus kepadanya karena dengki (phthonos, karena menganggap pengaruh-Nya di antara massa rakyat mengancam
status quo dan privilese mereka;
lihat 21.46), menyadari tekanan dan ancaman kerusuhan dari massa yang telah
dihasut oleh para penguasa Yahudi itu. Akhirnya, sembari berusaha melepaskan
diri dari tanggung jawab moral atas kematian Yesus (27.24), ia memutuskan untuk
mengeksekusi Yesus (27.26) atas dakwaan melakukan tindakan subversif kelas
satu: “Inilah Yesus Raja Orang Yahudi” (Iêsous
ho basileus tôn Iudaiôn, 27.27). “Bangsa itu” (ho laos), yang memilih seorang tawanan yang terkenal, yakni
Barabas, untuk dibebaskan, dan menuntut agar Yesus disalibkan (27.20-23),
menyambut tanggung jawab moral atas kematian Yesus dengan perkataan yang
mendirikan bulu roma: darah-Nya atas kami dan atas anak-anak kami (to haima autou eph’ hêmas kai epi ta tekna
hêmôn, 27.25).
Para Serdadu
Romawi
Kemudian
(27.27), seraya menggelandang (paralabontes,
dari paralambanô) Yesus ke dalam praitôrion, para serdadu gubernur
mengumpulkan seluruh pasukan (yang berkekuatan sekitar 600 orang, speria). Mereka melecehkan Yesus:
- Menelanjangi (ekdusantes, dari ekduô) Dia, mereka melilitkan (peritithêmi) jubah ungu kepada-Nya (28);
- Menganyam (plexantes, dari plekô) sebuah mahkota dari tetumbuhan duri (akanthês), mereka meletakkan itu di atas kepala-Nya dan buluh bamboo (kalamos) di tangan kanan-Nya (29);
- Dengan berlutut (gonupetêsantes, dari gonupeteô) di hadapan-Nya, mereka mengolok-olok (empaizô) Dia: “Salam, wahai Raja orang Yahudi (Chaire, basileu tôn Iudaiôn, 27.29);
- Meludahi-Nya (emptuasantes [dari emptuo] eis auton), mereka mengambil (lambanô) buluh bamboo itu dan memukulkan (tuptô) itu ke kepala-Nya (30).
Sesudah mengolok-olok (empaizô) Dia, mereka melepaskan (ekduô)
jubah itu daripada-Nya dan memakaikan (enduô)
kepada-Nya pakaian-Nya, dan menggiring (apagaô)
Dia untuk disalibkan (27.31).
Sesampai
di Golgota (27.33, 34), mereka memberi minum Yesus “anggur yang telah dicampur
dengan empedu” (onion meta cholês
memigmenon). Obat untuk membunuh rasa sakit! mengecapnya, Yesus tidak ingin
meminumnya! Jelas, Ia bertekad untuk menjalani penderitaan-Nya dengan sadar! Kemudian
(27.35-37) mereka menyalibkan Yesus. Di atas kepala-Nya diletakkan tulisan yang
menyebut alasan mengapa Ia dieksekusi dengan penyaliban: “Inilah Yesus Raja
Orang Yahudi.” Laki-laki Bersandal itu disalibkan sebagai musuh yang
membahayakan negara Romawi! Setelah itu mereka membagi-bagikan pakaian Yesus
dengan membuang undi. Setelah itu mereka duduk, menjaga Yesus.
Yang Lain-lain
Orang-orang
yang sedang lewat (hoi paraporeuomenoi,
27.39-40) terus menghujat (eblasphêmoun,
bentuk imperfect active indicative
dari blasphêmeô) Dia sambil
menggelengkan kepala. Kata mereka:
Hai Engkau yang
mau meruntuhkan Bait Suci
dan mau
membangunnya kembali dalam tiga hari,
jikalau Engkau
Anak Allah,
turunlah dari
salib itu dan selamatkanlah diri-Mu!"
Mereka
memadukan dakwaan dan kesaksian dusta (Engkau yang mau meruntuhkan Bait Suci
dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari) dengan tantangan yang
mengingatkan Yesus pada gaya Iblis saat mencobai-Nya (“jikalau Engkau Anak
Allah…”).
Imam-imam
kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua (27.41-43), para penguasa
Yahudi itu, mengingatkan kita pada kelakuan para serdadu Pilatus terhadap Yesus
bahkan perkataan Iblis. Mengolok-olok (empaizô)
Dia, mereka berkata:
Orang lain Ia
selamatkan,
tetapi diri-Nya
sendiri tidak dapat Ia selamatkan!
Jika Ia Raja
Israel,
baiklah Ia turun
dari salib itu,
maka kami akan
percaya kepada-Nya.
Ia mempercayakan
diri-Nya kepada Allah:
Biarlah Allah
menyelamatkan Dia sekarang,
jikalau Allah
berkenan kepada-Nya!
Karena Ia telah
berkata: Aku Anak Allah.
Bahkan,
dua orang perampok (hoi lêstai), yang
disalibkan bersama dengan Dia di sebelah kanan dan kiri-Nya (27.38), ikut terus
mencela (ôneidizon, bentuk imperfect active indicative dari oneidizô) Dia (27.44).
Ditinggalkan
Allah
Laki-laki
Bersandal itu mendapati diri-Nya benar-benar sendirian saat didera oleh kekerasan
demi kekerasan yang datang bertubi-tubi. Ketika badai kekerasan itu mereda saat
“kegelapan meliputi seluruh daerah itu,” Ia sudah terluka sangat parah. Dari
jam dua belas siang (waktu orang Yahudi: jam enam [ektê hôra], terhitung dari fajar sebagai paruh kedua dalam satu
hari) sampai jam tiga sore (waktu orang Yahudi: jam sembilan [hora enatê]), Yesus mendapati diri-Nya
tersalib di dalam kegelapan.
Kita
tahu, sehari penuh sejak senja kemarin hingga senja berikutnya adalah Paskah
bagi orang Yahudi. Gerhana matahari, yang mendatangkan kegelapan, tidak pernah
jatuh di hari Paskah. Tapi kendati tidak ada gerhana matahari, tengah hari di
paruh kedua hari itu kegelapan datang.
Dulu,
menjelang Peristiwa Keluaran, Yahweh pernah menulahi Mesir dengan kegelapan. Tapi
berabad-abad kemudian melalui Nabi Amos Yahweh berfirman akan mendatangkan
kegelapan yang akan disusul dengan perkabungan di antara umat-Nya (Amos 8.9-10).
Dulu
di Mesir kegelapan adalah tanda penghakiman Yahweh atas Mesir karena menindas
orang Israel dan menolak untuk membiarkan mereka pergi. Sedangkan menurut Nabi
Amos kegelapan justru merupakan tanda penghakiman Yahweh atas Israel, umat-Nya.
Sekarang, saat Yesus tersalib, kegelapan itu datang lagi. Apakah maksudnya?
Apakah Allah sedang menyatakan bahwa Ia murka kepada semua pihak yang telah
menzalimi Yesus?
Sekitar
jam tiga sore (atau jam sembilan menurut waktu orang Yahudi), saat kegelapan
berangsur pergi, Yesus menjeritkan, "Eli,
Eli, lema sabakhtani?" Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku? Kita pernah membaca perkataan itu dalam Mazmur 22.22a, yang mengawali
sebuah mazmur permohonan, suatu rangkaian doa dari seorang beriman yang
teraniaya dan dinistakan. Terucap sebagai jeritan Laki-laki Bersandal dari
Nazaret itu, perkataan ini membuat kita berpikir tentang hubungan antara Yesus
dan Allah.
Kita
tahu betapa akrabnya Yesus dengan Allah. Bukankah sekurang-kurangnya dua kali
Allah menyebut Dia sebagai Anak? (Matius 3.17; 17.5)? Bukankah Yesus biasa
menyebut Allah dengan sebutan “Bapa-Ku” (7:21; 10:32; 10:33; 12:50; 15:13; 16:17;
18:10, 19, 35; 20.23; 25:34; 26:29)? Begitu erat hubungan Yesus dengan
Allah, sehingga Ia bisa berkata, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh
Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun
mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan
menyatakannya” (11.27). Bahkan saat mengalami pergulatan batin di Getsemani dan
ditangkap oleh para kaki-tangan kaum penguasa Yahudi, Ia masih menyebut Allah
dengan sapaan itu (26.39, 53).
Tapi
kali ini, Yesus tidak menyebut menyebut Allah dengan sapaan “Bapa-Ku.”
Menjeritkan Mazmur 22.22a, Ia menyebut “Allah-Ku, Allah-Ku…” Sebutan itu masih
mengungkapkan adanya hubungan, tapi bukan lagi antara seorang anak dan ayahnya,
melainkan seorang penyembah dengan ilahnya. Mengapa demikian? Ini, “… Engkau
meninggalkan aku.” Kita bisa memahami: Laki-laki Bersandal itu merasa
ditinggalkan Allah. Kita bisa meraba, mungkin Ia merasakan hal itu selama mengalami
kekerasan verbal dan non-verbal serta penderitaan psikis dan fisik yang diakibatkannya.
Tapi kita tidak boleh mengabaikan kegelapan yang kemudian datang. Itulah puncak
dari pengalaman ditinggalkan oleh Allah, yang bagi-Nya tak lain dari puncak
penderitaan yang tiada tara. Untuk sejurus waktu, Allah bukan lagi Bapa-Ku,
tapi “sekadar” Allah-Ku. Meski demikian, toh Ia tidak berpaling dari Allah. Yesus
“masih” menyebut-Nya Allah-Ku. Secara paradoksikal: Sekalipun
Engkau telah meninggalkan aku, membiarkan-Ku dianiaya dan dinista
habis-habisan, Aku akan tetap menyembah-Mu, tetap mengabdi kepada-Mu. Saat yang
sepekat-pekatnya, saat Ia merasakan ketiadaan Allah, Yesus berusaha untuk tetap
beriman kepada-Nya.
Penyelamatan dan
Hakikat Keselamatan
Jalan
untuk “menyelamatkan umat Allah dari dosa-dosa mereka” (Matius 1.21) adalan
jalan pengurbanan. Yesus harus memberikan nyawa sebagai tebusan pengganti bagi
banyak orang (20.28) atau mencurahkan darah-Nya demi pengampunan bagi banyak
orang (26.28). Itu benar-benar terjadi melalui penderitaan mahahebat yang
disebabkan oleh kelemahan karakter para murid, kepentingan para penguasa, kesewenang-wenangan
aparat kekerasan, dan “mulut usil” berbagai pihak. Puncaknya: Ia harus mengalami
ketiadaan Allah di tengah penderitaan itu sendiri. Ia merasa Allah sendiri
sedang menghakimi-Nya. Itulah semua yang tercakup di dalam “cawan yang harus
diminum-Nya” (26.39-42).
Kisah
Sengsara menurut Matius menyajikan Yesus sebagai Sosok yang diserahkan Allah
kepada kezaliman manusia dan ditinggalkan-Nya sendirian demi tujuan
penyelamatan. Dengan jalan itu digarisbawahilah sifat paradoksikal dari
keselamatan itu sendiri. Pertama, di
dalam diri Yesus yang pernah ditinggalkan-Nya, Allah menerima semua orang yang
datang kepada-Nya dan tidak akan meninggalkan siapapun yang sedang terbenam
(atau dibenamkan!) dalam penderitaan. Dalam Yesus, Ia akan senantiasa hadir,
bersama-sama dengan mereka (1.23; 18.20; 28.20). Kedua,
dalam umat yang telah diselamatkan kelak, tidak boleh seorang pun menjadi
korban atau dikorbankan oleh sesamanya. Sang Kurban adalah Korban, supaya tidak
ada lagi yang dikorbankan. ***
Lemah
Abang, 10-13 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar