schoenstatt.org |
Matius 28.1-10,
16-20
Rudolfus
Antonius
Laki-laki
dari Nazaret itu mengawali pelayanan-Nya di Galilea (Matius 4.12), wabil chusus di wilayah yang secara
rasial dan keagamaan paling terpinggirkan. Itulah wilayah yang disebut oleh
Nabi Yesaya dari Yerusalem sebagai “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke
laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain”
(4.15; lihat Yesaya 8.23). Setelah menamatkan riwayat Kerajaan Israel (utara),
penguasa Asyur mengangkut orang-orang dari berbagai bangsa yang telah
ditaklukkan ke sana, dan mereka berkawin-campur dengan penduduk Israel
setempat.
Semasa
Yesus, wilayah itu sudah lazim dikenal sebagai tempat kediaman kaum yang tidak
murni Yahudi, kaum yang pada umumnya beragama secara abangan, bahkan biasa diberi
label “orang berdosa” oleh para pemuka agama. Di sana banyak orang penyakitan;
para pemuka agama menuding mereka sebagai orang-orang yang dikutuk Allah. Di
sana banyak orang yang kerasukan setan; para pemuka agama memandang mereka
sebagai orang-orang yang dibuang oleh Allah.
Rupanya
belum cukup mereka menderita karena penindasan politik yang dilakukan oleh penjajah
(Kaisar) dan para kolaboratornya (macam Herodes, raja wilayah Galilea). Belum
cukup juga mereka menderita pemiskinan yang sistematis yang dilakukan penjajah
dan kolaboratornya (pajak, upeti), otoritas Bait Suci (aneka persembahan), dan
para tuan tanah (terhadap kaum tani gurem, penggarap, dan buruh tani). Mereka
juga dimarjinalkan oleh sistem keagamaan yang
mencitrakan sosok Allah yang tak lebih dari suatu proyeksi dari sikap
kelas penguasa terhadap rakyat pekerja. Walhasil, massa rakyat kaum marjinal
itu “lelah dan telantar seperti domba-domba yang tidak memiliki gembala”
(9.36).
Yesus,
yang dibesarkan sebagai putera seorang tukang (ho tektonos huios, 13.55) di Nazaret, Galilea, tidak asing dengan penderitaan mereka.
Sesungguhnya Ia begitu merasakan penderitaan mereka; hatinya senantiasa
tergerak oleh belas kasihan (splanknizomai)
kepada kaum yang terpinggirkan itu (9.33; 14.14; 15.32). Ia memilih untuk
mengutamakan mereka. Keterpinggiran mereka menjadi dasar bagi-Nya untuk mencari
mereka, “domba-domba yang binasa dari keluarga Israel” (ta probata ta apolôta oikuo Israêl, 10.6). Binasa, dalam arti lelah
dan telantar (9.36), karena tidak digembalakan oleh para pemuka agama yang
justru menyisihkan mereka dari akses kepada Allah. Tapi kini, “bangsa yang diam
dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di
negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang” (4.16; lihat Yesaya 9.1).
Njajah desa
milang kori,
Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat, mewartakan Injil, dan melenyapkan segala
penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu (4.23; 9.35). Kemudian Ia juga
mengutus murid-murid-Nya untuk melayani mereka (10.1, 7-8). Ia mewartakan bahwa
Kerajaan Sorga (Kerajaan Allah), yakni pemerintahan ilahi yang
mentransformasikan dunia melalui perwujudan kehendak Allah di dunia ini, mulai
mendatangi dunia. Terutama bagi kaum marjinal itulah Kerajaan Sorga diperuntukkan.
Ia mengajak mereka bertobat (4.17), mengucapkan selamat kepada mereka (5.3-12),
menggarisbawahi peran mereka yang signifikan dalam transformasi dunia
(menggarami bumi dan menerangi dunia, 5.13-16), serta mendorong mereka untuk
menjadikan kesucian hati, keyakinan bahwa Allah adalah Bapa, dan keinginan
untuk meneladani Allah sebagai titik-tolak beragama (5.17-20, 21-48).
Yesus mengajarkan
bahwa Allah adalah Bapa mereka. Ia menyebut Allah “Bapamu yang di sorga” (5.16,
45, 48; 6.1, 4, 6, 8, 14, 15, 18, 26, 32; 7.11; 10.20, 29; 18.14; 23.9). Ia
juga mengajar mereka untuk menyapa Dia dalam doa “Bapa kami yang di sorga”
(6.9).
Konfrontasi
di Yerusalem dengan kaum penguasa Yahudi (para kolaborator dan manipulator
agama) dan penjajah memuncak dalam serangkaian kekerasan yang masif di hampir
di sepanjang hari raya Paskah orang Yahudi (lihat Matius 26.17-27.44). Ia
divonis mati & dieksekusi atas dengan dakwaan subversif: Inilah Yesus Raja
Orang Yahudi (Inilah Yesus Raja Orang Yahudi, 27.37).
Kaum
perempuan di antara murid-murid awal Yesus adalah saksi-saksi mata kematian-Nya
(27.55-56, 61). Sementara itu, semua murid laki-laki telah melarikan diri
meninggalkan Yesus (26.56). Yang paling vokal, yakni Simon Petrus, telah
menyangkal Dia sampai tiga kali (26.75). Maria Magdalena dan “Maria yang lain,”
dua di antara murid-murid perempuan itu, adalah orang-orang yang pertama kali
berjumpa dengan al-Masih, Gusti Yesus, yang telah bangkit dari antara orang
mati (28.9).
Dalam
perjumpaan itu Gusti Yesus mengutus murid-murid perempuan itu untuk mewartakan
kepada murid-murid yang lain bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati dan menunggu
mereka di Galilea. Dapat dibayangkan bagaimana mereka harus meyakinkan para
murid laki-laki yang telah tercerai-berai itu bahwa Gusti Yesus telah bangkit
dari antara orang mati dengan menggarisbawahi bahwa bila mereka ingin berjumpa
pula dengan Dia, mereka harus pergi ke Galilea karena Ia telah menunggu mereka
di sana. Betapa penting peran perempuan dalam Peristiwa dan Berita Paskah!
Gusti
Yesus mengawali pelayanan-Nya di antara kaum marjinal di Galilea. Ia juga
memanggil dan mengutus murid-murid-Nya di Galilea (4.18-22, 10.1-5). Kemudian Ia
berkonfrontasi dengan elit, kaum penguasa, di Yerusalem. Sekarang, sebagai Mesias, dengan segala kuasa
atau otoritas (exousia) di dalam
sorga dan di atas bumi telah dikaruniakan kepada-Nya (28.18a), Ia kembali ke
Galilea. Ia juga memanggil dan mengutus murid-murid-Nya di Galilea, supaya dari
sana mereka memuridkan segala bangsa bagi-Nya (28.18b-20). Mulai lagi di
Galilea, di tengah kaum terpinggirkan, untuk memuridkan segala bangsa. Dari
“yang terpinggirkan” untuk seluruh umat manusia!
DUNIA TELAH
BERGANTI RUPA!
SELAMAT PASKAH!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar