Matius 20.29-34-21.17
Rudolfus
Antonius
Keluar
dari Yerikho, menuju Yerusalem: Gusti Yesus dan murid-murid-Nya. Orang banyak
dalam jumlah besar (ochlos polus)
mengikuti Dia. Syahdan ada dua orang buta di pinggir jalan. Mendengar bahwa
Yesus sedang lewat, mereka berseru-seru (ekraxan,
legontes): “Kasihanilah kami, Anak Daud!” Perhatikan. Anak Daud adalah
sebutan untuk Mesias. Kedua orang buta itu memanggil Yesus “Anak Daud.” Dengan
kata lain, mereka menyebut Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu Mesias, ahli
waris sejati takhta Daud.
Massa
rakyat yang mengikuti Gusti Yesus memarahi (epitimaô,
TB-LAI: menegur) kedua orang buta itu. Mereka ingin keduanya diam, jangan
berkata-kata lagi (siôpaô). Kita bisa
mencandra. Menyebut Yesus “Anak Daud” berarti menyatakan bahwa Dia Mesias.
Secara politis ini subversif. Sangat berbahaya. Tapi alih-alih bungkam, kedua
orang buta itu malah makin keras berseru-seru (meizon ekraxan legontes): “Kasihanilah kami, Gusti, Anak Daud!” Dilarang
keras malah bersuara makin keras. Piye
jal. Benar-benar subversif.
Nyatanya,
seruan mereka telah membuat Gusti Yesus menghentikan langkah-Nya. Ia memanggil
mereka dan berkata, “Kamu ingin Aku melakukan apa bagimu? (ti thelete poiêsô humin;). “Gusti, supaya mata kami terbuka” (Kurie, hina anoichthôsin hêmôn hoi ofthalmoi,
TB-LAI: Tuhan, supaya mata kami dapat melihat). Mendengar itu, “tergeraklah
hati Yesus oleh belas kasihan.” Splanknizomai.
Ia tahu selama ini mereka telah sangat menderita. Ia merasakan penderitaan
mereka. Seperti saat Ia melihat massa rakyat yang “susah dan kapiran seperti
kawanan domba tak bergembala” (9.36). Persis saat Ia melihat orang banyak dalam
jumlah besar (polus ochlos) mencari
Dia hingga ke tempat Ia ingin mengasingkan diri setelah mendengar kabar duka
kematian Yohanes Pembaptis (14.12-14). Di sana Ia menyembuhkan orang-orang yang
sakit (14.14b), kemudian bermukjizat memperbanyak roti dan ikan untuk memberi
makan lebih dari lima ribu orang (14.21). Seperti saat Ia melihat lebih dari
empat ribu orang yang telah mengikuti-Nya selama tiga hari (15.32a). Tidak mau
orang-orang itu pulang dengan lapar dan jatuh pingsan di jalan (15.32b), Ia
bermukjizat memperbanyak roti dan ikan untuk memberi makan mereka (15.38).
Sekarang, Ia menyentuh mata kedua orang buta itu; seketika itu juga (eutheôs) mata mereka terbuka (20.34a).
Mereka pun mengikuti Dia, bersama dengan massa rakyat berjumlah besar itu
(20.34b). Anak Daud, Sang Mesias, merasakan penderitaan kaum yang terpinggirkan!
Mendekati
Yerusalem, massa rakyat yang mengiring dan menyambut Gusti Yesus bak tenggelam
dalam euforia. Massa yang menyambut “menggelar karpet merah”: menghamparkan
jubah-jubah mereka di jalan yang akan dilalui Gusti Yesus dan menyebarkan
ranting-ranting pohon, yang telah mereka potong, di jalan. Massa yang
mengiring, baik yang di belakang maupun yang di depan-Nya, mengelu-elukan Gusti
Yesus sebagai Mesias: Anak Daud (21.9). Saat Yesus memasuki Yerusalem, seluruh
kota gempar dan bertanya-tanya. Massa rakyat berkata, “Dialah Nabi Yesus,
[nabi] dari Nazaret Galilea” (21.11).
Tiba
di Yerusalem, Gusti Yesus memasuki Bait Suci. Ia mengusir “semua orang yang berjual
beli” di sana. Kata “mengusir” (ekballô)
berkonotasi keras. Paling sering kita menemukan kata ini dalam rujukan-rujukan tentang
pengusiran setan (lihat Matius 8.16, 31; 9.33, 34; 10.1, 8; 12.24, 26, 27, 28;
17.19). Tidak sekadar mengusir, Yesus juga “membalikkan meja-meja para penukar
uang dan bangku-bangku para pedagang merpati.”
Bukan
tanpa sebab, dan Ia mengemukakannya dengan tandas. “Ada tertulis,” kata-Nya, “Rumah-Ku
akan disebut rumah doa” (ho oikos mou oikos proseuchês klethêsetai, Matius
21.13a. Lihat Yesaya 56.4-8; beytî beyt-tǝfilâh
yiqrâʼ lǝcâl-hâʽamîm [ay 8]; TB-LAI: “rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi
segala bangsa”).
“Tetapi,”
sambung-Nya, “kamu telah membuatnya menjadi persembunyian para perampok” (humeis … auton epoiêsate spêlaion lêstôn, TB-LAI: “kamu
menjadikannya sarang penyamun.” Lihat Yeremia 7.11: hamʽârat pâritsîm hâyâh habayit hazeh ʼasher-niqrâʼ-shǝmî ʽâlâyw bǝʽeyneykem, apakah TB-LAI: “Sudahkah menjadi sarang penyamun di
matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?”).
Alih-alih
menjadi rumah doa (oikos proseuchês),
Bait Suci (rumah Allah) telah dibuat menjadi sarang penyamun (TB-LAI) atau persembunyian
para perampok (spêlaion lêstôn)! Dalam transaksi jual-beli, termasuk
pertukaran uang yang digelar di Bait Suci, telah terjadi perampokan. Bait Suci
melegalkannya dan dengan demikian mengelabui mata umat yang datang untuk
mempersembahkan kurban dalam rangka beribadah kepada Allah. Termasuk kaum
miskin, yang hanya sanggup mempersembahkan kurban berupa burung merpati! Karena
itu Bait Suci telah berfungsi menjadi persembunyian para perampok!
Selanjutnya
terlihatlah pemandangan yang mencengangkan. Sebagai ganti para perampok yang “terhormat”
itu adalah orang-orang buta dan orang-orang timpang. Mereka datang kepada Yesus
di Bait Suci, dan Laki-laki Bersandal itu menyembuhkan mereka (21.14). Kita
dapat segera merasakan bahwa saat itu Bait Suci kembali menjadi rumah doa. Ya,
rumah doa bagi orang-orang buta dan orang-orang timpang. Rumah doa bagi kaum
yang terpinggirkan!
Dahulu
kala, saat berusaha merebut kota Yerusalem, Raja Daud merasa sangat terhina
ketika orang Yebus, penduduk asli kota itu, berkata kepadanya: “Engkau tidak
sanggup masuk ke mari; orang-orang buta dan orang-orang timpang akan mengenyahkan
engkau!” (2Samuel 5.6). Mengejek Raja Daud, mereka sesumbar bahwa ia tidak akan
berhasil merebut Yerusalem: Jangankan merebut kota itu, menghadapi penduduk
yang lebih paling lemah di kota itu pun Raja Daud tidak akan sanggup. Raja Daud
menjadi sangat geram. Ia bilang, hatinya membenci (sâneʼ) orang-orang timpang dan orang-orang buta (ay 8b). Dengan
strategi yang tepat, yakni dengan menerobos masuk melalui saluran air, ia berhasil
merebut kota Yerusalem (ay 8a). Namun, entah bagaimana, orang mengatakan “orang
buta dan orang timpang tidak akan masuk ke rumah itu” (ʽûr ûpisseakh loʼ yâbôʼ ʼel-habâyît, ay 8c; LXX: tufloi kai choloi ouk eiseleusontai eis
oikon kuriou, orang-orang buta dan orang-orang timpang tidak akan masuk ke
dalam Rumah Tuhan).
Perlakuan
Yesus terhadap orang-orang buta dan orang-orang timpang sangat berbeda dengan
sikap Daud (dan orang-orangnya) terhadap mereka. Ia menyambut mereka di “rumah
doa” dan menyembuhkan mereka. Padahal, Ia adalah Mesias, Anak Daud! Betapa Anak
Daud memberi tempat kepada kaum terpinggirkan, wabil chusus orang-orang buta dan orang-orang timpang di Rumah
Tuhan!
Dalam
pada itu di Bait Suci juga hadir anak-anak (paidia).
Mereka berseru-seru: “Hosanna bagi Anak Daud” (= “ku mohon berilah keselamatan
bagi Anak Daud”, 21.15). Bait Suci benar-benar kembali menjadi rumah doa bagi
kaum yang terpinggirkan.
Melihat
mukjizat-mukjizat yang dibuat Yesus dan anak-anak yang mengelu-elukan-Nya
sebagai Anak Daud, para imam kepala dan ahli-ahli Taurat menjadi naik pitam (aganakteô). Boleh jadi mereka
terperangah, Yesus bermukjizat mencelikkan mata orang-orang buta dan membuat
orang-orang lumpuh berjalan. Tetapi seruan yang mengelu-elukan Yesus sebagai
Anak Daud alias Mesias, kedengaran sebagai deklarasi yang memaknai
mukjizat-mukjizat tersebut. Sang pembuat mukjizat yang menolong kaum
terpinggirkan itu adalah Anak Daud, Sang Mesias itu sendiri. Di bawah kekuasaan
Romawi, kemunculan seseorang yang menyatakan diri atau diklaim oleh massa
rakyat sebagai Mesias adalah subversif (bdk 27.37). Sangat berbahaya!
Para
pemuka agama (dan politisi) itu berkata kepada Yesus, “Engkau dengar apa yang
dikatakan anak-anak ini?” (21.16a). Sebuah pertanyaan retorik, tujuannya untuk
mengatakan kepada Yesus bahwa Ia sedang mendatangkan bahaya kepada tatanan
yang mapan (sistem keagamaan yang berpusat pada Bait Suci dan sistem
politik nasional yang “bekerjasama” dengan penguasa Romawi) ATAU kepada diri-Nya sendiri.
Mendengar
pertanyaan retorik itu, Yesus menjawab, “Aku dengar.” Ia mengerti apa
konsekensi dari tindakan-tindakan-Nya. Lalu sambung-Nya, “belum pernahkah kamu
baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan
puji-pujian (ek stomatos vêpion kai thêlazontôn
katêrtisô ainon)? Ia mengutip Mazmur 8.2 (LXX)! Bukan hanya massa rakyat di
jalanan yang menyerukan bahwa Laki-laki Bersandal itu adalah Anak Daud, Sang
Mesias. Di Bait Suci, anak-anak pun melakukannya. Allahlah yang telah menaruh
itu di mulut mereka. Suatu sindiran, tentu, bagi para pemuka agama dan politisi
yang betah dengan status quo yang nyatanya
menghisap rakyat (ingat Bait Suci telah menjadi “persembunyian para perampok”)
dan memarjinalkan (orang-orang buta dan orang-orang lumpuh).
Di
Minggu Palmarum, di awal Pekan Suci, kita diajak untuk melihat sosok Gusti
Yesus sebagai Anak Daud alias Mesias yang memberi tempat bagi kaum yang
terpinggirkan! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar