Selasa, 23 Juni 2020

TERAWANG IBN SJAMSU: HANTU KOMUNISME

www.deviantart.com/qsy-and-acchan
1. Hantu Komunisme masih bergentayangan di benak sebagian orang di Pulau Melati.

2. Hantu ini sengaja dibuat gentayangan oleh orang-orang licik, yang menemukan titik hubung antara kepentingan ekonomi-politik mereka dan kepicikan sementara orang dalam beragama, politik kebencian yang telah dipupuk sekitar 6 tahun terakhir, dan kemalasan untuk membaca dan menalar kritis sejarah dan politik tanah air.

3. Walhasil, dalil "orang licik memanipulasi orang picik dan fanatik demi kepentingan ekonomi-politik" terkonfirmasi berkali-kali. Saat ini, orang-orang licik itu, yang tidak lain dari faksi2 kelas borjuis yang belum puas dengan pembagian jatah dari jarahan singa atas "penguasaan atas sejengkal tanah, kekayaan alam, dan penduduknya," memanfaatkan jasa sejumlah "ulama" untuk membuat umat tercekam dengan hantu Komunisme dan semakin membenci administrasi Jokowi, serta siap dikorbankan demi kepentingan yang sejatinya tidak ada kaitannya dengan kepentingan umat itu sendiri.      

4. Faksi2 borjuis yang bertikai tahu bahwa Komunisme sudah lama mati. Mungkin sebagian dari "ulama" itu juga mengetahuinya. Tapi kenyataan bahwa hantu Komunisme bergentayangan di benak sebagian orang (=umat) menunjukkan perkawinan haram antara akal licik & culas di satu pihak dan kesadaran palsu & kelumpuhan nalar kritis di pihak lain.    

5. Cekak aos, di balik bergentayangannya hantu Komunisme adalah perselisihan yang belum kunjung berakhir di antara faksi2 borjuis atau kelas penguasa Pulau Melati: mereka belum mencapai kata sepakat dalam pembagian kavling eksploitasi & akumulasi kapitalis di Pulau Melati.

6. Pertikaian ini tentu tidak lepas dari pengamatan dan campur tangan borjuasi internasional, yang selamanya tergiur untuk turut menikmati bahkan mendominasi kekayaan Pulau Melati. Bila perlu, sembari menggembar-gemborkan HAM & demokrasi serta retorika tanggung jawab ekologis, mereka akan mengadudombakan faksi2 borjuis lokal dan mengaduk-aduk masyarakat, tak peduli Pulau Melati menjadi Afghanistan kedua, Irak kedua, Libya kedua, Suriah kedua, dst.

7. Apakah Komunisme? Sangat boleh jadi sebagian dari "ulama" dan sekian banyak umat bahkan rakyat Pulau Melati tidak mengerti apa yg dimaksud dengan Komunisme. Yang ditanamkan dalam benak mereka selama ini adalah konotasi2 demagogis: Komunisme itu atheis, anti-Islam, pembantai ulama dan umat Islam, pengkhianat negara & Pancasila, pembunuh jenderal2...

8. Secara keseluruhan kelas borjuis Pulau Melati merasa perlu mempertahankan hegemoni dari konotasi2 demagogis ini. Semua faksi memiliki senjata bersama untuk menghantam gerakan2 progresif di kalangan rakyat manakala gerakan itu tiba pada satu titik  yang mengancam privilese mereka. Saat gerakan2 progresif tersebut itu dipandang tidak atau belum berbahaya, faksi2 borjuis akan menggunakan konotasi2 demagogis ini untuk saling menghantam di antara mereka sendiri. 

9. Tap MPRS No XXV/1966 melarang Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dari sini mestinya jelas, yang dimaksud dengan Komunisme oleh Tap tsb adalah Marxisme-Leninisme, ideologi resmi Partai-partai Komunis sedunia yang berkiblat ke Moskow atau Peking semasa Perang Dingin.

10. Bila Komunisme, seturut dengan Tap MPRS No XXV/1966, diartikan sebagaimana poin 9, patutlah kita jujur bertanya: bukankah Komunisme sudah kadaluwarsa? Bukankah kegaduhan tentang Komunisme semata mengada-ada tapi masih dipercaya oleh sebagian orang yang terlalu picik sehingga tidak mampu memfilter racun demagogi yang merusak nalar dan hati mereka?

11. Dalam pada itu, kegilaan ini menginsyafkan kita: kaum progresif, yang menjunjung demokrasi seutuhnya (baik politik maupun ekonomi) belum cukup mampu menawarkan baik wacana tandingan yang efektif, maupun wadah & kanal untuk menampung dan menyalurkan "jeritan kaum tertindas" (yg justru dikooptasi oleh bentuk2 agama yang fundamentalistis dan reaksioner yg pada glirannya menguntungkan kelas borjuis itu sendiri).

12. Kita, kaum progresif, harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas lagi!


Lemah Abang, 23 Juni 2020

Sabtu, 30 Mei 2020

PERGUMULAN SEORANG NABI BESAR

www.biography.com
Matius 11.2-6

Oleh: Rudolfus Antonius


Yohanes Pembaptis adalah seorang yang luar biasa. Massa rakyat (ho ochlos) menganggapnya nabi (Matius 14.5; 21.26). Gusti Yesus bahkan mengatakan bahwa Yohanes lebih dari seorang nabi (perissoteron prophêtou, 11.9). Sebab laki-laki eksentrik itu telah merintis jalan bagi Sang Mesias. 

Mewartakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat, Yohanes menyerukan umat untuk bertobat, berbalik dari jalan hidup yang berdosa. Banyak orang dari Yerusalem, seluruh Yudea, dan seluruh daerah di sekitar Yordan telah menyambut positif pewartaan dan seruannya. Mengakui dosa-dosa, mereka dibaptisnya. Mereka bertobat.

Yohanes berani menempelak orang-orang Farisi dan Saduki yang datang gara-gara baptisannya. Ia tahu bahwa orang-orang itu tidak merasa perlu untuk bertobat. Mereka yakin bahwa mereka adalah anak-anak Abraham. Mereka menyangka bahwa mereka akan luput dari murka Allah. Melawan kecongkakan itu, Yohanes menyebut mereka “keturunan ular berbisa” (gennêmata echidnôn, TB-LAI: “keturunan ular beludak”, 3.7b). Ia menasihati mereka untuk menghasilkan “buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (3.8). Situasinya genting, sedikit saja waktu yang masih tersisa: “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api” (3.10).

Yohanes juga tahu bahwa orang-orang Farisi dan Saduki mempersoalkan baptisannya (epi tou baptisma autou, 3.7a; TB-LAI: “untuk dibaptis olehnya”). Maka ia menandaskan bahwa ia sekadar membaptis dengan air sebagai tanda pertobatan. Tetapi, lanjutnya, Mesias (“Dia yang datang,” ho erchomenos) akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api (3.11). Dalam pemahaman Yohanes, baptisan Mesias akan memisahkan orang benar dan orang fasik, yang masing-masing bermuara dalam keselamatan dan kebinasaan: “Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan” (3.12). Dengan mengatakan semuanya itu, seolah Yohanes berkata: berhadapan denganku, kamu masih memiliki kesempatan. Pilihlah kehidupan, jangan kebinasaan. Bertobatlah, jangan keraskan hatimu. Kelak nanti, berhadapan dengan Mesias, semua sudah terlambat. 

Tak lama kemudian, Yohanes Pembaptis berurusan dengan Herodes, si raja wilayah: “Tidak halal bagimu untuk memiliki Herodias!” tegornya, keras (14.4). Pasalnya, Herodias adalah isteri Filipus, saudara Herodes. Si raja wilayah merebutnya. Bukannya bertobat, Herodes malah mengambil tindakan represif. Yohanes ditangkap, dibelenggu, dan dipenjarakan (14.3; lihat 4.12).


Memahami Pekerjaan-pekerjaan Kristus

Di dalam penjara, Yohanes mendengar tentang “pekerjaan-pekerjaan Kristus” (ta erga tou Christou, 11.2). Sudah barang tentu: pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Gusti Yesus, yang sambil njajah desa milang kori “mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan” (9.35).

Tentu Yohanes teringat perjumpaannya dengan Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu. Yesus datang dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya (3.13). Yohanes, yang sebelumnya menempelak habis-habisan orang-orang Farisi dan Saduki karena kecongkakan mereka, ternyata sangat menyegani “anak tukang kayu” (13.55) itu. Ia berusaha menolak untuk membaptis Yesus (3.14). “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu,” kata Yohanes kepada-Nya, “dan Engkau yang datang kepadaku?”

Menurut anggapan Yohanes, Yesus tidak perlu bertobat, mengaku dosa, dan dibaptis olehnya. Dirinyalah yang perlu bertobat, mengaku dosa, dibaptis oleh Yesus. Tapi, kita semua tahu, bahwa Yesus ngeyel, tetap meminta agar Yohanes membaptis-Nya. “Saat ini biarlah begitu (aphes arti),” kata-Nya, “karena dengan cara inilah kita menggenapi seluruh kehendak Allah (atau: seluruh kebenaran, pasan dikaiosunên), dengan sebaik-baiknya” (3.15a). Kita tidak tahu, apakah Yohanes mengerti maksud perkataan Yesus. Yang jelas, akhirnya Yohanes membaptis Yesus.

Yohanes juga teringat bahwa di hadapan orang-orang Farisi dan Saduki ia menyebut Sang Mesias, “ho erchomenos,” Dia yang akan datang. Ia tahu, Sang Mesias lebih perkasa daripada dirinya. Ia menyadari, di hadapan Sang Mesias, dirinya lebih rendah dari seorang budak (“membuka tali kasutnya pun aku tidak layak”). Ia yakin, bahwa Sang Mesias akan menegakkan “seluruh kebenaran,” yakni mengukuhkan orang benar (membaptis dengan Roh Kudus) dan membinasakan orang fasik (membaptis dengan api).

Lantas adakah hubungan antara Sang Mesias dan Yesus dari Nazaret? Apakah Laki-laki Bersandal dari Nazaret yang maksum itu adalah ho erchomenos alias Sang Mesias? Bukankah Dia berkata-kata tentang “menggenapi seluruh kebenaran”? Kalau begitu, bukankah selaku Mesias Yesus akan “membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api,” yakni mengukuhkan orang benar dan membinasakan orang fasik? Tapi, perhatikan apa yang telah dikerjakan oleh Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu! Sepertinya kok tidak “menggenapi seluruh kebenaran” … Tidak mengukuhkan orang benar, tidak juga membinasakan orang fasik. Salah satu “bukti”-nya: Yohanes Pembaptis malah terbelenggu dalam penjara, sementara Herodes dan Herodias yang maksiat kelihatan asyik-masyuk dan berjaya! Yohanes pun bergumul.

Kita bisa menduga bahwa setelah membaptis Yesus, Yohanes melihat “langit terbuka” (êneôcthêsan hoi ouranoi, 3.16) dan mendengar “suara dari langit” (phonê ek tôn ouranôn) yang mengatakan “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (3.17). Jika demikian, Yohanes tahu bahwa Yesus bukan sekadar seorang maksum, yang memberi isyarat yang kabur bahwa Dialah Sang Mesias (yakni dengan kata-kata “seluruh kebenaran”). Berdasarkan pernyataan eksplisit dari langit yang terbuka itu, sangat boleh jadi Yohanes tahu dan percaya bahwa Yesus adalah Sang Mesias sekaligus Hamba Yahweh. Akan tetapi situasi objektif sangat bisa mempengaruhi pikiran, perasaan, bahkan iman seseorang.

Di tengah pergumulannya, Yohanes tidak ingin terus bertanya-tanya. Ia menginginkan ketegasan. Oleh karena itu ia mengutus murid-murid-Nya kepada Gusti Yesus, untuk bertanya: “Engkaukah ‘Dia yang akan datang’ (ho erchomenos), atau kami masih harus menantikan orang lain?” (11.3). Gusti Yesus tidak menjawab secara langsung. Ia berkata kepada murid-murid Yohanes:

Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes
apa yang kamu dengar dan kamu lihat:
orang buta melihat,
orang lumpuh berjalan,
orang kusta menjadi tahir,
orang tuli mendengar,
orang mati dibangkitkan
dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.

Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku." (1.4-6)

Gusti Yesus ingin mengajak Yohanes untuk mengingat dua nubuatan dalam gulungan kitab Nabi Yesaya (Yesaya 35.5-6 [jilid 1]; 61.1 [jilid 3]). Nubuatan yang pertama berintikan kedatangan Allah dengan pembalasan dan ganjaran, yang menyelamatkan umat-Nya (Yesaya 35.4). Walhasil, “mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka… orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai” (35.5-6). Nubuatan yang kedua berintikan misi Hamba Yahweh, yang diurapi Yahweh dengan Roh-Nya “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, merawat orang-orang yang remuk hati, memberitakan  pembebasan kepada orang-orang tawanan…” (6.1-2). Pendeknya, zaman mesianis adalah zaman tegaknya keadilan, zaman pembebasan bagi kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Zaman sudah mulai terwujud melalui praksis Laki-laki Bersandal dari Nazaret.

Di sini kita menangkap suatu perbedaan penting. Bagi Yohanes, saat kedatangan-Nya, Sang Mesias akan langsung menegakkan keadilan dan melakukan pembalasan kepada orang benar dan orang fasik. Seketika Ia akan menyelamatkan orang benar dan membinasakan orang fasik. Itulah “menggenapi seluruh kebenaran.” Tetapi menurut Gusti Yesus, “menggenapi seluruh kebenaran” dimulai dengan mewartakan kabar baik kepada kaum miskin dan mengulurkan tangan kepada mereka yang terpinggirkan. Mengutamakan kaum miskin dan tertindas, yakni mewartakan kabar baik dan mengulurkan tangan kepada mereka; itulah prioritas Sang Mesias saat ini. Menyelamatkan orang benar dan menghukum orang fasik, akan dilakukan-Nya kelak, yakni saat “Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya” (25.1). Penghakiman itu pun akan didasarkan pada sikap terhadap kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan, yang disebut-Nya “saudara-saudara-Ku yang paling hina” (hoi adelphoi hoi elachistoi, 25.40).

Gusti Yesus bermaksud memberikan konfirmasi kepada Yohanes bahwa memang Dialah ho erchomenos alias Sang Mesias – tapi dengan “priorias kerja” yang berbeda dengan yang dipikirkan Sang Pembaptis. Atas dasar itu, Ia berusaha menghibur Yohanes dan meneguhkan imannya: “Dan berbahagialah orang yang tidak jatuh tersandung karena Aku (hos ean mê skandalisthê en emoi, 11.6; TB-LAI: “orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku”).

Orang besar, orang biasa

Yohanes Pembaptis adalah orang besar, bahkan Gusti Yesus mengatakan “di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis” (11.11a). Totalitas pengabdiannya kepada pewartaan Kerajaan Allah dan perintiasan jalan bagi Sang Mesias luar biasa. Tapi toh ia tetap manusia biasa, yang bisa bimbang dan memiliki pemahaman yang kurang utuh tentang Sang Mesias. Syukurlah dalam kebimbangannya ia tak segan bertanya kepada orang yang tepat, yakni Gusti Yesus sendiri.

Kita beruntung memiliki pemahaman yang lebih lengkap tentang Sang Mesias. Dalam arti inilah, “yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya” (11.11b). Tapi kita pun manusia biasa, yang bisa bimbang meskipun memiliki pemahaman yang lebih memadai tentang Junjungan kita. Kita mesti rendah hati sementara terus belajar mengikut dan mengenal Sang Mesias.

Dalam pada itu, “pekerjaan-pekerjaan Mesias,” yang mengungkapkan komitmen-Nya, yakni “pilihan mengutamakan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan,” kiranya menjadi agenda utama kita. Bukankah Injil atau kabar baik yang diwartakan Sang Mesias adalah Injil yang Membebaskan? Sebagai para pengikut-Nya, mari kita terus memasyhurkannya. ***


Lemah Abang, 23-27 Mei 2020

Kamis, 21 Mei 2020

MI'RAJ GUSTI YESUS: MEMAHAMI KEMBALI AMANAT AGUNG

Matius 28.19-20

Rudolfus Antonius

Dalam memperingati dan merayakan Kenaikan Gusti Yesus ke Sorga alias Mi'raj Gusti Yesus, ada baiknya kita mengkaji Matius 28.19-20, wabil chusus di bawah tajuk tema Memahami Kembali Amanat Agung. ***


Amanat Agung (great commission). Itulah istilah yang kita gunakan untuk menyebut perintah Tuhan Yesus dalam Matius 28.19-20. Tidak salah, tentu. Perintah itu dititahkan oleh Tuhan yang Mulia, yang melalui kebangkitan-Nya “telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Matius 28.18). Allah telah mengurapi Sang Mesias (3.16-17). Sekarang Ia telah menobatkan-Nya (bdk 26.64). Lebih dari sekadar seorang Raja orang Yahudi (2.2; 27.37), melalui kebangkita-Nya, Yesus menjadi Yang Dipertuan atas sorga dan dunia. Dalam kapasitas inilah Ia bertitah, Amanat Agung.

Tafsir (Naratif)

Amanat Agung adalah suatu titah pengutusan. Benar. Sebagaimana Yesus pra-Kebangkitan menghendaki murid-murid-Nya pergi kepada “domba-domba yang hilang dari umat Israel,” (10.6), demikianlah Kristus pasca-Kebangkitan menghendaki murid-murid-Nya pergi kepada “segala bangsa” (28.19).

Menurut Yesus pra-Kebangkitan, kepergian murid-murid adalah dalam rangka mewartakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat. “Beritakanlah, dengan mengatakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat” (kêrussete legontes hoti êngiken hê basileia tôn ouranôn, 10.7). “Beritakanlah” berpadanan dengan “sembuhkanlah orang-orang sakit, bangkitkanlah orang-orang mati, tahirkanlah orang-orang kusta, usirlah setan-setan” (10.8a). Jiwa dan semangatnya: “kamu telah menerima dengan cuma-cuma, berikanlah cuma-cuma” (dôrean elabete, dôrean dote, ay 8b).

Saya menyebut “berpadanan,” karena semua kata kerja-kata kerja yang digunakan mengambil bentuk present imperatif: kêrussete (beritakanlah), therapeuete (sembuhkanlah), egeirete (bangkitkanlah), katharizete (tahirkanlah), ekballete (usirlah/halaulah). Penyembuhan orang-orang sakit, pembangkitan orang-orang mati, penahiran orang-orang kusta, dan pengusiran setan-setan adalah tanda-tanda bahwa yang diberitakan, yakni bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, benar adanya.

Menurut Kristus pasca-Kebangkitan, kepergian murid-murid adalah dalam rangka memuridkan segala bangsa bagi-Nya. “Muridkanlah segala bangsa” (mathêteusate panta ta ethnê, 28.19). Mereka yang telah dipanggil menjadi murid (=yang mengikut) Yesus (4.19, 21 [bdk 8.22]; 10.1), sekarang diutus untuk menjadikan segala bangsa murid. Mereka yang selama ini telah mengikut Yesus, kini dititahkan untuk memanggil segala bangsa untuk mengikut Yesus.

Sebagaimana dulu mereka menyambut panggilan Yesus dan menjadi murid-murid-Nya, kelak orang-orang dari segala bangsa juga akan menyambut panggilan mereka dan menjadi murid-murid Yesus. “Muridkanlah segala bangsa, dengan membaptiskan (baptizontes) mereka ke dalam nama (eis to onoma) Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan dengan mengajar (didaskontes) mereka untuk melakukan (=memelihara, têrein, dari têreo) semua, [yakni] sebanyak yang telah Kuperintahkan kepadamu” (28.19-20a).

Menarik, kita mendapati kata kerja perintah mathêteusate (muridkanlah!) dan dua kata kerja partisipel: baptizontes (dengan membaptiskan) dan didaskontes (dengan mengajar). Dua kata kerja partisipel menjelaskan kata kerja utamanya, yakni kata kerja perintah.

Memuridkan segala bangsa, kesebelas murid itu (1) membaptiskan “murid-murid baru” ke dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Itu berarti “mempersatukan” murid-murid baru itu dengan Bapa dan Anak dan Roh Kudus atau mempersekutukan mereka dengan Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dengan demikian murid-murid baru itu menjadi milik Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan hidup di bawah naungan-Nya.

Kesebelas murid itu juga (2) mengajar murid-murid baru itu untuk melakukan semua, yakni sebanyak yang telah diperintahkan Yesus Kristus kepada mereka. Sebagaimana “kesebelasan” itu mengikut Yesus dan melakukan perintah-perintah Yesus, demikian jugalah murid-murid baru yang berasal dari segala bangsa itu. “Kesebelasan”, yakni murid-murid yang mula-mula, harus mengajarkan hal-hal yang mereka hidupi kepada murid-murid yang baru.

Apakah yang dimaksud dengan “semua, yakni sebanyak yang telah Kuperintahkan kepadamu”? Dalam konteks Injil Matius, itu menyangkut ajaran-ajaran yang disampaikan Yesus selaku “Musa yang Baru.” Sebagaimana secara tradisional diyakini oleh umat Yahudi (dan umat Kristen), Musa telah memberikan Taurat dalam Lima Kitab: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam Injil Matius, Yesus, yang datang bukan untuk menghapuskan Taurat melainkan untuk menggenapinya (5.17), memberikan “taurat baru” dalam Lima Pengajaran: Khotbah di Bukit (5-7), Khotbah Misi Israel (10), Perumpamaan Kerajaan Sorga (13), Pengajaran tentang Gereja (18), dan Khotbah Akhir Zaman (24-25).

Murid-murid yang mula-mula harus menghidupi ajaran-ajaran Yesus sebagaimana terpapar dalam Lima Pengajaran. Sementara mereka menghidupinya, mereka harus mengajar murid-murid baru untuk menghidupi Lima Pengajaran. Itu berarti:

Berkenaan dengan Pengajaran Pertama, para murid berupaya “menjadi sempurna seperti Bapa” (5.48, fungsional “menampakkan” Allah yang tidak kelihatan via suatu cara hidup alternatif (jalan ketiga, bukan legalisme, bukan antinomianisme).

Berkenaan dengan Pengajaran Kedua, para murid belajar untuk tidak menjadi takut dan khawatir namun tulus dan cerdik dalam memberitakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat (10.7, 17, 19, 26, 28, 30).

Berkenaan dengan Pengajaran Ketiga, para murid belajar untuk hidup dalam keyakinan bahwa Kerajaan Sorga sangat berharga serta akan tumbuh, berkembang, dan menang – sesuai dengan rencana Allah – sekalipun di tengah berbagai tantangan (13.18-21,30, 32, 33, 41-43, 44-46, 49).

Berkenaan dengan Pengajaran Keempat, para murid belajar untuk rendah hati, saling menjaga, dan saling mengampuni dalam paguyuban murid Kristus (18.4, 21-22).

Berkenaan dengan Pengajaran Kelima, para murid belajar untuk setia, tanggap terhadap tanda-tanda zaman, dan senantiasa berjaga-jaga menantikan parousia (24.4, 6, 13, 42), termasuk berbelarasa dengan “saudara-saudara-Ku yang paling hina” – kaum yang terhisap, tertindas, dan tersingkir/terpinggirkan dalam masyarakat (25.37-40, 44-45).

Miskonsepsi dan Transformasi

Miskonsepsi berarti salah paham. Perihal Amanat Agung, terjadi juga kesalahpahaman di kalangan kita, orang Kristen. Lazimnya, kesalahpahaman itu berkisar pada (1) anggapan bahwa Mat 28.19-20 merupakan perintah tentang “memenangkan jiwa”; dan, berdasarkan anggapan pertama, (2) anggapan bahwa Mat 28.18-20 adalah perintah yang paling penting dalam Perjanjian Baru, bahkan dalam seluruh Alkitab.

Kedua anggapan ini didasarkan pada pandangan bahwa “jiwa” manusia lebih penting daripada tubuhnya. Jiwa itu kekal, tubuh itu fana. Ketika mati, tubuh manusia akan berkalang tanah, sedangkan jiwanya akan memasuki keabadian. Adapun keabadian itu berkisar pada sorga dan neraka. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus, jiwanya akan masuk ke dalam neraka. Orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, jiwanya akan masuk ke dalam sorga. Lantas, bagaimana bisa percaya bila tidak pernah mendengar Injil? Bagaimana bisa mendengar Injil bila tidak pernah diinjili? (bdk Roma 10.14-15).

Implikasinya, hal-hal yang terkait dengan kejasmanian manusia tidak atau kurang diperhatikan. Paling banter, kebutuhan-kebutuhan jasmani dan sosial seseorang sekadar dijadikan “batu loncatan” dalam memenangkan jiwa. Kita menolong orang, misalnya, supaya kita bisa memenangkan jiwanya. Kita mengerjakan pelayanan sosial, misalnya, supaya bisa memenangkan jiwa sebanyak mungkin orang.

Tentu saja jiwa manusia penting, bahkan sangat penting. Tetapi Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang utuh: jasmani-rohani dan individual-sosial. Injil meliputi semua dimensi. Keselamatan tidak hanya menyangkut yang rohani, tetapi juga jasmani. Bukankah Yesus (dan murid-murid-Nya, lihat Matius 4.23; 9.35; 10.1, 7-8), menyembuhkan orang-orang sakit, membangkitkan orang-orang mati, mentahirkan orang-orang kusta, dan mengusir setan-setan? Bukankah penyempurnaan keselamatan kita tidak semata soal jiwa masuk sorga, tapi kebangkitan orang mati (lihat misalnya 1Korintus 15.52b-54)? Bukankah Allah tidak hanya mempedulikan keselamatan orang perorang, tetapi juga transformasi masyarakat seturut dengan nilai-nilai Kerajaan-Nya? (lihat misalnya Matius 5.13-16, di mana Yesus menyebut murid-murid-Nya sebagai sebagai garam dan terang dunia)?

Di samping itu, bila kita setia pada Matius 28.19-20, kita perlu membacanya secara utuh, pula dalam keseluruhan Injil Matius. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, Matius 28.19-20 memuat titah tentang pemuridan: Muridkanlah segala bangsa. Menjadi murid-murid Yesus, orang-orang dari segala bangsa dibaptis (=menjadi milik Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan hidup dalam naungan-Nya) serta belajar untuk memahami dan menghidupi perintah-perintah Yesus dalam Lima Pengajaran. Jadi bukan semata memenangkan jiwa, melainkan transformasi hidup!

Menjadi murid atau pengikut Yesus, hidup seseorang ditransformasi seturut dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, dan pada gilirannya turut serta dalam proyek transformasi Kerajaan Allah atas orang lain dan masyarakat luas. Transformasi itu bergulir melalui dua cara yang saling terkait: manjing ajur-ajer seperti garam dalam membawa Injil ke dalam masyarakat (Matius 5.13) dan menjadi “kota di atas bukit” yang menerangi dunia (Matius 5.16).

Dengan manjing ajur-ajer seperti garam, kita memperbarui masyarakat “dari dalam,” yakni dengan terlibat dalam dinamika masyarakat, sehingga masyarakat diresapi dengan nilai-nilai Kerajaan Allah (sebagaimana terpapar dalam ajaran dan hidup Yesus). Dengan menjadi “kota di atas bukit,” kita menampilkan suatu cara hidup baru, yang dapat menjadi alternatif, baik di tataran perorangan maupun komunitas (=gereja), yang di satu sisi terbuka untuk dikritisi, namun pada saat yang sama otentik, menarik, dan menantang untuk diikuti.

Transformasi, itulah Misi Gereja, misi orang percaya, berdasarkan pembacaan kita atas Matius 28.19-20 dalam konteks keseluruhan Injil Matius. Ya, Amanat Agung adalah deklarasi Misi Transformatif. Dalam mengemban Misi inilah kita boleh mengalami janji Tuhan Yesus: “Dan lihatlah, aku ada bersama dengan kamu di sepanjang masa hingga kesudahan zaman” (Matius 28.20b). Ia yang dijanjikan Allah sebagai Imanuel (=Allah ada bersama dengan kita), hadir di dalam Gereja alias persekutuan murid-murid-Nya (18-20), dan menyertai murid-murid-Nya dalam mengemban Misi Transformatif-Nya. 

Selamat memperingati dan merayakan Mi'raj Gusti Yesus! 

Lemah Abang, 20-21 Mei 2020


Senin, 18 Mei 2020

TRILOGI ROH KUDUS

catholic-sf.org
Kisah Para Rasul 1.1-11

Rudolfus Antonius


Sebelum terangkat ke sorga, Gusti Yesus berpesan kepada para murid agar mereka menantikan Janji Bapa. “Yohanes membaptis dengan air,” sabda-Nya, “tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.”

Latar: Yohanes Pembaptis

Murid-murid, juga kita, teringat akan Yohanes Pembaptis. Karena firman Allah datang kepadanya, Yohanes meninggalkan keheningan tapa-brata di padang gurun. Menjelajahi seluruh Yudea, ia mengajak umat menyambut kedatangan Yahweh, Allah Israel, dan keselamatan yang akan diwujudkan-Nya. “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis,” serunya, “dan Allah akan mengampuni dosamu” (Lukas 3.2-6).

Massa rakyat tergugah mendengar seruan itu. Mereka datang kepadanya untuk dibaptis. Tapi mereka malah menegor mereka dengan keras. Tanpa tedeng aling-aling, Yohanes menyebut mereka sebagai keturunan ular berbisa – secara spiritual. Tentu ia tahu bahwa mereka keturunan Abraham – secara biologis. Tapi menjadi keturunan biologis Abraham tidak ada gunanya bila mereka tidak sungguh-sungguh bertobat. “Kapak sudah tersedia pada akar pohon,” tegasnya, “dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” Lantas bagaimana caranya supaya seseorang mengetahui bahwa ia telah sungguh-sungguh bertobat? Menurut Yohanes, batu uji dari pertobatan yang sungguh-sungguh adalah buah-buah yang dihasilkannya (3.7-9).

Massa rakyat tidak tersinggung. Mereka tahu, mereka percaya bahwa Yohanes benar. Mereka telah berniat untuk bertobat. Tekad mereka sudah bulat. Karena itu mereka bertanya kepada  Yohanes: Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat? (3.10).

Yohanes menjawab dengan tegas:

Barangsiapa mempunyai dua helai baju,
hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya,
dan barangsiapa mempunyai makanan,
hendaklah ia berbuat juga demikian (3.11).

Maksudnya jelas: Berbagi dengan yang tidak berpunya adalah buah pertobatan. Jelas, pertobatan memiliki orientasi sosial.

Di antara massa rakyat terdapat para pemungut cukai dan prajurit. Mereka juga telah bertekad untuk bertobat. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama: apakah yang harus kami perbuat? Kepada para pemungut cukai Yohanes berkata, “Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan kepadamu.” Kepada para prajurit ia berkata, “Jangan merampas dan jangan memeras, dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (3.12-14).

Makin jelas. Bertobat berarti meninggalkan penghisapan atau pemerasan terhadap rakyat. Berhenti dari exploitation de l’homme par l’homme adalah buah pertobatan. Sekali lagi, pertobatan memiliki orientasi sosial. Menjadi manusiawi, menjadi sesama bagi orang lain, itulah buah pertobatan.

Dalam pada itu, massa rakyat “sedang menanti dan berharap.” Seperti Kiyai Simeon yang benar dan saleh itu, mereka “menantikan penghiburan bagi Israel” (2.25). Seperti Nyai Hana yang “…  siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa” (2.37), mereka “menantikan kelepasan untuk Yerusalem.” (38). Merasakan kharisma Yohanes, massa rakyat pun bertanya-tanya dalam hati: apakah orang inilah Sang Mesias?

Yohanes tanggap ing sasmita. Ia tahu betul siapa dirinya. Ia juga tahu persis peran yang dipercayakan Allah kepadanya. Ia sekadar “suara yang berseru-seru di padang gurun” (3.4). Ia bukan Sang Mesias. Perannya adalah “sekadar” mengajak umat untuk “menggelar karpet merah” bagi Yahweh, Allah Israel. Tidak lebih dari itu. Karena itu ia merasa wajib untuk meluruskan. 

Aku membaptis kamu dengan air,
tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang
dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.
Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.
Alat penampi sudah di tangan-Nya
untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya
dan untuk mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya,
tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan (3.16-17).

Sekurang-kurangnya kita menangkap empat hal dalam jawaban Yohanes. Pertama, Yohanes mengaku bahwa ia bukan Sang Mesias. Kedua, ia menyebut Sang Mesias sebagai “Ia yang lebih berkuasa daripadaku” (ho ischuroteros mou). Ketiga, ia bahkan merasa lebih rendah daripada hamba Sang Mesias: apalagi membawa kasut Sang Mesias, membuka tali kasut-Nya pun ia merasa tidak layak. Keempat, ia sekadar membaptis dengan air, tetapi Sang Mesias akan membaptis “dengan Roh Kudus dan dengan api” (en pneumatic hagiô kai puri). Dengan baptisan itu, Sang Mesias memisahkan orang benar dari orang fasik. Orang-orang benar akan dibaptis-Nya dengan Roh Kudus: dihimpunkan-Nya untuk keselamatan (bdk. Yesaya 44.3; Yehezkiel 39.29; Yoel 2.28). Orang-orang fasik akan dibaptis-Nya dengan api: dihimpunkan-Nya untuk kebinasaan (Yesaya 26.11; 66.24; Yeremia 4.4; 15.14).  

Kembali kepada perbincangan Gusti Yesus dengan murid-murid-Nya. “Kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus” (humeis … en pneumatic baptisthêsthe hagiô): itulah janji Bapa. Itu akan terjadi tidak lama lagi (tidak lama setelah hari ini, ou meta pollas tautas hêmeras). Pelakunya: Sang Mesias. Dia tak lain dari Gusti Yesus sendiri (lihat Lukas 24.26; Kisah 2.33).



Roh Kudus: Roh Sang Mesias

Saat penahbisan sebagai Mesias yang Menghamba melalui baptisan Yohanes, Roh Kudus turun ke atas Yesus (Lukas 3.22). Dalam Manifesto Nazaret, Yesus mengutip Yesaya 61.1-2. Pertama, “Roh TUHAN ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku…” (Lukas 4.18a). Gusti Yesus meyakini bahwa dengan Roh Kudus, Allah telah mengurapi-Nya sebagai Mesias yang Menghamba. Pengurapan itu membuat-Nya memiliki otoritas dan daya untuk melaksanakan misi-Nya sebagai Mesias yang Menghamba. Kedua, apa misi Sang Mesias yang Menghamba? Allah mengutus Sang Mesias yang Menghamba untuk mewartakan Injil alias Kabar Baik yang membebaskan kaum miskin dan tertindas! 

untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,
untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Lukas 4.18b-19).

Jelas, Roh Kudus adalah Roh Sang Mesias, yang memampukan Sang Mesias memberitakan Injil yang Membebaskan.

Roh Kudus: Roh yang Bersaksi tentang Mesias

Setelah menempuh jalan penderitaan hingga kematian sebagai konsekuensi dari pewartaan Kabar Baik yang memerdekakan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan, Sang Mesias yang Menghamba “masuk ke dalam kemuliaan-Nya” (eiselthein eis tên doxan autou, Lukas 24.26). Dalam perkataan yang lebih ringkas: “Mesias [harus] menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga” (pathein ton christon kai anastênai ek nekrôn tê tritê hemera, 24.46). Kelak, dalam perkataan Rasul Petrus, “…Allah telah membuat-Nya Tuhan dan Kristus, yakni Yesus yang telah kamu salibkan” (kurion auton kai christon epoiêsen ho theos, touton ton Iesoun hon humeis estaurôsate, Kisah 2.36). Inilah inti bagian pertama dari cerita tentang Yesus Sang Mesias.

Bahwa Sang Mesias telah masuk ke dalam kemuliaan-Nya, implikasinya seluas dunia. Sang Mesias memiliki otoritas atas segala bangsa (panta ta ethnê). Dalam nama-Nya (=atas nama-Nya, berdasarkan otoritas-Nya, epi onomati), akan diberitakan “pertobatan demi pengampunan dosa-dosa” (metanoia eis aphesin hamartiôn, Lukas 24.47). Itu artinya, pertama, Sang Mesias menilai segala bangsa sedang hidup dalam dosa-dosa; kedua Sang Mesias menghendaki segala bangsa bertobat agar beroleh pengampunan atas dosa-dosa mereka; dan ketiga, Sang Mesias menghendaki agar segala bangsa mendengar pewartaan tentang pertobatan demi pengampunan dosa-dosa. Inilah inti bagian kedua dari cerita tentang Yesus Sang Mesias.

Menurut Gusti Yesus, para murid adalah “saksi-saksi dari semuanya ini” (martures toutôn, 24.48). Jelas maksud beliau, para murid adalah saksi-saksi atas cerita tentang Yesus Sang Mesias, baik bagian pertama maupun bagian kedua. Implikasinya, mereka harus bersaksi atau memberi kesaksian tentang cerita tentang Gusti Yesus seutuhnya.

Kedengarannya subversif. Di bawah bayang-bayang para penguasa dunia, yakni Kaisar dan jaringan kaki-tangannya (Lukas 3.1-2), Yesus mewartakan Kabar Baik yang Memerdekakan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan; dibunuh oleh kaki-tangan penguasa dunia namun didudukkan Allah sebagai Yang Dipertuan; sekarang mengklaim otoritas atas segala bangsa-bangsa – yang notabene ada di bawah kekuasaan Kaisar – dan menyuruh mereka bertobat; dan mengutus saksi-saksi-Nya ke seluruh dunia – dari  Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi (=Roma!). Baik dalam bagian pertama dan bagian kedua dari kisah-Nya, maupun melalui kesaksian murid-murid-Nya, sesungguhnya Gusti Yesus sedang menantang penguasa dunia dan jaringan kaki-tangannya!

Untuk, murid-murid membutuhkan Roh Kudus. Roh Kudus, yang dulu turun ke atas [katabainô epi]  Yesus (Lukas 3.22), akan datang ke atas [eperchomai epi] murid-murid-Nya (Kisah 1.8). Dulu, Roh Kudus mengesahkan Yesus sebagai Mesias dan memberdayakan-Nya untuk mewartakan Injil yang Membebaskan (Lukas 4.18-19). Tak lama lagi, melalui Roh Kudus, para murid akan menerima kuasa (dunamis), yang memampukan mereka untuk menjadi saksi-saksi Sang Mesias – dari Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi (Kisah 1.8).

Karena daya kerja yang dahsyat dari Roh Kudus itulah murid-murid Gusti Yesus akan menjadi “orang-orang “menjungkirbalikkan dunia-Romawi” (hoi tên oikumenên anastatôsantes, Kisah 17.6; TB-LAI: “orang-orang yang mengacaukan seluruh dunia”). Bukan dengan kekerasan, tentunya. Tapi apa jadinya Kekaisaran Romawi apabila segala bangsa yang ada di bawah kekuasaannya bertobat dan menghidupi ajaran Gusti Yesus – yakni kasih dan pengampunan, keadilan dan solidaritas dengan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan, serta pelayanan dan pengurbanan diri? Tanpa harus mengobarkan pemberontakan bersenjata, kesaksian yang perkasa tentang Gusti Yesus akan menjelma menjadi gerakan seluas dunia yang menawarkan alternatif dari jejaring raksasa kekuasaan Romawi dan dengan demikian menyodorkan ancaman serius kepadanya! Roh Kudus adalah Roh Kesaksian tentang Sang Mesias. 

Roh Kudus: Roh Umat Sang Mesias

Pada hari Pentakosta, Janji Bapa digenapi. Sang Mesias mencurahkan Roh Kudus kepada murid-murid-Nya (Kisah 2.33) yang berjumlah 120 orang itu (1.15). Penuh dengan Roh Kudus, mereka berkata-kata “tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (ta megaleia tou theou, 2.11) dalam bahasa-bahasa yang lazim digunakan oleh orang-orang Yahudi perantuan di kedua sisi Laut Tengah (2.8-11).

Dalam khotbahnya, Rasul Petrus menegaskan bahwa Janji Bapa, yakni karunia Roh Kudus (hê dôrea tou hagiou pneumatos), juga diperuntukkan bagi semua orang yang bertobat dan dibaptis “atas nama Yesus Kristus” [epi tô onomati Iesou Christou] demi pengampunan dosa (Kisah 2.38-39).

Sebagai tanggapan atas seruan Rasul Petrus, kira-kira tiga ribu orang memberi diri dibaptis (2.41). Roh Kudus pun dikaruniakan Sang Mesias kepada mereka. Roh Kudus itulah yang kemudian memberdayakan mereka untuk hidup sebagai umat Sang Mesias. Lihatlah, mereka bertekun “dalam pengajaran rasul-rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa” (2.42). Persekutuan (koinônia) itu didasarkan prinsip “segala kepunyaan semua orang yang telah menjadi percaya adalah kepunyaan bersama” (2.44b). Sebab, manakala seseorang bertobat dan dibaptis atas nama Gusti Yesus, ia seutuhnya menjadi milik Gusti Yesus – termasuk “segala kepunyaan”-nya. Dalam Gusti Yesus itulah seluruh komunitas saling berbagi dengan “segala kepunyaan” yang ada pada mereka. Saling berbagi berarti saling melayani dan berkurban. Roh Kuduslah tentunya yang telah menanamkan prinsip itu di hati mereka semua. Aplikasinya, “selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (2.45). Dengan perkataan lain: “dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya, untuk tiap-tiap orang menurut kebutuhannya.” Roh Kudus jugalah yang telah memampukan mereka semua untuk mengaplikasikan prinsip tersebut.

Hidup sebagai umat Sang Mesias adalah suatu bentuk kesaksian tentang Sang Mesias. Menjadi komunitas yang “berani berbeda,” yang menghidupi nilai-nilai alternatif di tengah dunia yang lelah dengan pementingan diri sendiri, keserakahan, kesewenang-wenangan, serta ketidakadilan berupa penghisapan, penindasan, dan diskriminasi, adalah suatu bentuk kesaksian tentang Sang Mesias. Roh Kuduslah yang memampukan “orang-orang yang telah menjadi percaya” untuk hidup sebagai umat Sang Mesias, untuk menghidupi nilai-nilai alternatif itu. 

Di samping menjadi ancaman bagi mereka yang diuntungkan oleh struktur-struktur yang melayani dosa (baik ekonomi, politik, bahkan keagamaan!), alternatif itu menarik hati banyak orang. Lebih-lebih orang-orang yang selama ini menjadi korban-korban dosa: kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Tak heran bila umat Sang Mesias  itu “disukai semua orang” (2.47b). Walhasil, “tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (2.47c). Roh Kudus adalah Roh umat Sang Mesias.

Trilogi Roh Kudus

Inilah trilogi Roh Kudus dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Pertama, Roh Kudus adalah Roh Sang Mesias. Kedua, Roh Kudus adalah Roh yang Bersaksi tentang Sang Mesias. Ketiga, Roh Kudus adalah Roh umat Sang Mesias.

Berbahagialah kita, para pengikut Gusti Yesus, Sang Mesias.

Berbahagialah kita karena Roh Sang Mesias ada di dalam tiap-tiap kita.

Berbahagialah kita karena Roh Sang Mesias memberdayakan kita untuk bersaksi tentang Gusti Yesus.

Berbahagialah kita karena Roh Sang Mesias memampukan kita untuk hidup sebagai umat Sang Mesias.

Mari kita menghidupi nilai-nilai alternatif – kasih dan pengampunan, keadilan dan solidaritas dengan mereka yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan, serta pelayanan dan pengurbanan diri. *** 


Lemah Abang, 15-18 Mei 2020

Selasa, 12 Mei 2020

GEMBALAKANLAH DOMBA-DOMBAKU

Yohanes 21.15-19

Rudolfus Antonius


Dalam perjumpaan yang ketiga setelah Gusti Yesus bangkit dari antara orang mati (Yoh 21.14), Simon Petrus mendengar Beliau bertanya kepadanya: “Simon [putera] Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (agapas me) lebih dari mereka ini [mengasihi Aku]?” Simon Petrus berkata kepada-Nya, “Benar, Gusti. Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (21.15b).

Agaknya Simon menjawab spontan, tanpa pikir panjang. Tak sempat ia bertanya-tanya di dalam hatinya, mengapa Gusti Yesus menyebutnya “Simon [putera] Yohanes,” bukan Petrus? Bukankah dengan sebutan itulah Gusti Yesus menyapanya manakala untuk pertama kali Simon bertumpa dengan-Nya?

Kala itu Simon menemui Gusti Yesus atas ajakan Andreas, saudaranya. Andreas mula-mula meguru kepada Yohanes Pembaptis. Setelah mendengar Sang Pembaptis menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret adalah “Domba Allah yang menghapuskan dosa dunia” (ho amnos tou Theou ho airôn tên hamartian tou kosmou, 1.29), ia dan seorang rekan santri Sang Pembaptis menjumpai Yesus dan kemudian menjadi murid-Nya. Andreas inilah yang mengabari Simon bahwa ia telah menemukan Sang Mesias (1.41). Atas dasar itu, Simon bersedia diajak Andreas untuk menemui Gusti Yesus. Dalam perjumpaan yang pertama itulah Gusti Yesus berkata kepada-Nya: “Engkau adalah Simon putera Yohanes. Engkau akan dijuluki [klêthêsê] Kefas [alias Petrus, 1.42].” Sejak saat itu, Simon menyusul Andreas menjadi pengikut Gusti Yesus.

Sekarang, Gusti Yesus menyapanya lagi sebagai “Simon [anak] Yohanes.” Dengan jalan itu, Gusti Yesus sedang mengingatkan Simon tentang peristiwa “kali pertama jumpa Sang Mesias,” alias momen saat Simon menjadi murid-Nya. Termasuk: kasih yang mula-mula, semangat yang mula-mula. Meski pernah gagal lantaran menyangkal Beliau sampai tiga kali, Simon tetap murid Gusti Yesus, dan diajak untuk memiliki kembali kasih dan semangat yang mula-mula.

Mari kita kembali kepada jawaban Simon. “Benar, Gusti (nai, kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se), katanya. Menanggapi jawaban Simon, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau: Berilah makan domba-domba-Ku, boske ta arnia mou). Sang Gembala yang Baik (10.11, 15) memberi Simon amanat sehubungan dengan domba-domba-Nya. Berdasarkan jawaban Simon, Dia yang memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya, mengamanatinya untuk menggembalakan mereka. Suatu kepercayaan yang mengandung tanggung jawab yang sangat besar, tentunya.

Untuk kedua kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [anak] Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (agapas me)?” Jawaban kedua Simon sama persis, seperti mengulang saja jawaban pertama: “Benar, Gusti (nai, kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se).  Menanggapi jawaban itu, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-dombaku” (atau: Pimpinlah domba-domba-Ku, poimane ta probata mou). Jelas: Bila engkau mengasihi Aku, gembalakanlah domba-domba-Ku.

Untuk ketiga kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [putera] Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (phileis me)?” Mendengar itu Simon terhenyak. Bukan karena kali ini Gusti Yesus menggunakan kata phileô untuk mengasihi, setelah sebelumnya menggunakan kata agapaô dalam dua pertanyaan pertama. Memang ada sejumlah orang yang berpandangan bahwa karena Simon hanya bisa menjawab dua pertanyaan agapas me dengan philô se, maka dalam pertanyaan ketiga Gusti Yesus “menurunkan standard” dengan phileis me. Dengan kata lain, karena Simon hanya bisa mengasihi Gusti Yesus dengan kasih seorang sahabat, bukan kasih tanpa syarat, maka Beliau “menurunkan tuntutan-Nya” dari semula agapaô menjadi phileô.

Tidak demikian. Sebab dalam Injil Yohanes, agapaô dan phileô digunakan bergantian. Simak, misalnya:

§  Bahwa Bapa mengasihi Yesus, kata agapaô (3.36; 10.17; 15.9; 17.23, 24) phileô (5.20) digunakan.
§  Bahwa Yesus mengasihi Lazarus, kata agapaô (11.5) dan phileô (11.3, 36) digunakan.
§  Bahwa Bapa mengasihi murid-murid Gusti Yesus, kata agapaô (14.21) dan phileô (16.27) digunakan.
§  Bahwa murid-murid Gusti Yesus mengasihi Beliau, kata agapaô (14.15, 21, 23, 28) dan phileô (16.27) juga digunakan.
§  Demikian pula halnya dengan julukan “murid yang dikasihi Yesus.” Kata agapaô (13.23; 19.26; 21.7, 20) dan phileô (20.2) digunakan.


Alih-alih soal “menurunkan tuntutan,” beginilah duduk perkaranya. Dua kali sudah Simon, dengan perkataan yang persis sama, menjawab pertanyaan Gusti Yesus. Tanpa pikir panjang! Sampai-sampai Gusti Yesus “harus” bertanya untuk ketiga kalinya. Mengutip Wak Haji Oma Irama, “sungguh terlalu.” Pertanyaan ketiga membuatnya terhenyak dan berpikir panjang. Ia tersadarkan bahwa sebenarnya ia telah gagal dalam mengasihi Gusti Yesus.

Simon ingat, bahwa ia pernah kecewa kepada Gusti Yesus. Pada malam sebelum Gusti Yesus ditangkap untuk disalibkan, Beliau mengatakan akan meninggalkan para murid, pergi ke tempat yang tidak dapat mereka datangi. Simon pun bertanya kepada-Nya, “Ke mana Engkau akan pergi?” Tentu masih segar dalam ingatan Simon bagaimana ia mewakili kawan-kawannya di Kelompok-12 menanggapi pertanyaan getir Gusti Yesus apakah mereka tidak mau berpaling dan meninggalkan Dia, menyusul sekian banyak murid lainnya (6.67). Dengan tegas Simon menandaskan ia dan kawan-kawannya tidak akan berpaling dan meninggalkan Dia. Sebab: “Gusti … Engkau memiliki perkataan-perkataan hidup yang kekal, dan kami telah percaya dan mengetahui bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (kurie, … rhêmata zoês aiôniou echeis, kai hêmeis pepisteukamen kai egnôkamen hoti su ei ho hagios tou Theou, 6.68-69). Cekak aos, di balik pertanyaan Simon kepada Gusti Yesus terdapat gugatan: “Di momen genting ketika sekian banyak murid telah berpaling dan meninggalkan-Mu (6.66), kami tetap bersama-Mu. Dan sekarang Kau akan meninggalkan kami, pergi ke tempat yang tidak dapat kami datangi?”

Simon juga ingat pernah gusar kepada Gusti Yesus. Ia merasa Beliau meremehkan pertanyaan itu dengan jawaban, “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku” (13.36). Sekarang (nun) dan kelak/nanti (husteron). Sekarang ia tidak bisa mengikuti Gusti Yesus ke tempat kemana Beliau pergi. Kelak baru bisa. Ada apa dengan sekarang? Mengapa harus nanti?

Tanpa berpikir panjang, Simon Petrus pun berkata sengit: “Gusti, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang?” katanya, “aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” [tên psuchên mou huper sou thêsô] (13.36). Agaknya Simon tidak menyadari bahwa ia telah membalikkan perkataan Gusti Yesus, “Akulah Gembala yang Baik … Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku” (tên psuchên mou tithêmi huper tôn probatôn, 10.11, 15). Kedengaran heroik … saking emosionalnya!  

Menanggapi perkataan itu, jawaban Gusti Yesus menggarisbawahi bahwa Simon Petrus sama sekali belum siap untuk mengikuti Dia. “Kau akan memberikan nyawamu untuk-Ku?” (13.38a). Nggak salah, nih? Demi mengikut Aku? Ah yang bener! Kemudian Gusti Yesus menjelaskan bahwa sesaat lagi Ia akan pergi ke Rumah Bapa (14.2). Tempat itulah yang sekarang ini belum bisa didatangi oleh para murid. Sekarang ini, para murid belum bisa mengikuti Gusti Yesus pergi ke Rumah Bapa. Apa pasal? Mengikuti Gusti Yesus ke Rumah Bapa berarti menempuh jalan penderitaan hingga kematian. Simon Petrus, juga kawan-kawannya, masih jauh dari siap. Nanti iya, tapi bukan sekarang. Titeni, “ayam jantan pasti tidak akan berkokok, sampai engkau menyangkal Aku tiga kali” (13.38b).

Dapat dibayangkan perasaan Simon mendengar tanggapan Gusti Yesus seperti itu. Ia merasa sudah siap! Siapa bilang dia tidak atau belum siap. Karena itu ia ingin membuktikan bahwa “ramalan” Gusti Yesus salah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinyalah yang benar. Dan itu hampir menjadi kenyataan. Simaklah insiden penangkapan Yesus. Pasukan Romawi berkekuatan 600 orang (speira) dikerahkan bersama-sama dengan para pengawal Bait Suci suruhan para imam kepala dan orang-orang Farisi. Mereka nggrudug Gusti Yesus lengkap dengan lentera, suluh, dan senjata. Simon menghunus pedang dan menebas telinga kanan Malkus, seorang budak imam besar (18.10). Sebuah tindakan yang heroik membela Gusti Yesus, yang justru membiarkan diri-Nya ditangkap dan meminta agar murid-murid-Nya, termasuk Petrus, dibiarkan pergi (18.8).

Simon masih penasaran untuk membuktikan dirinya. Ia mengikuti rombongan yang menggiring Gusti Yesus yang terbelenggu itu. Kemudian ia sampai dekat gerbang istana Imam Besar. Di situlah seorang hamba perempuan (18.17), orang-orang yang ada di situ (18.25), dan kerabat si Malkus (18.26) mengenalinya sebagai pengikut Gusti Yesus. Simon, yang sebelumnya begitu heroik, menyangkal tudingan mereka sampai tiga kali. Setelah itu berkokoklah ayam jantan (18.27). “Ramalan” Yesus benar, terbukti. Upaya Petrus untuk membuktikan hal yang sebaliknya gagal. Ia memang belum siap untuk mengikuti Yesus, dengan menempuh jalan penderitaan dan kematian, ke Rumah Bapa.

Ingatan akan rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat Simon benar-benar menyadari bahwa ia telah gagal dalam mengasihi Gusti Yesus. Ia pun menjadi sedih, berduka (elupêthê, dari lupeô; bdk 21.17 dan 16.20). Ia merasa bahwa ia mengasihi Gusti Yesus, tapi ia sadar bahwa ia tidak cukup mampu mengasihi Beliau hingga “memberikan nyawa” untuk-Nya, sampai tetes darah terakhir, sampai titik darah yang penghabisan. Pikiran pendeknya telah dipatahkan, kesombongannya telah dihancurkan. Ia pun berkata kepada Gusti Yesus, “Gusti, Engkau tahu segala sesuatu (kurie, panta su oidas).” Ya segala sesuatu, termasuk Simon apa adanya. “Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (su ginôskeis hoti philô se).
    
Gusti Yesus tahu, murid-Nya yang satu ini telah tiba pada kesadaran dan pengenalan diri yang benar. Itulah tujuan Beliau menanyakan hal yang sama tiga kali kepadanya. Ia membimbing Simon untuk tiba pada kesadaran dan pengenalan diri yang sejati. Kesadaran dan pengenalan diri itu membuat orang menjadi terbuka terhadap anugerah Allah yang memulihkan! Bahkan, berdasarkan kesadaran dan pengenalan diri itulah, amanat ilahi dikukuhkan. Sebab kemudian Gusti Yesus berkata kepada Simon, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau: Berilah makan domba-domba-Ku, boske ta probate mou). 

Amanat itu segera disusul-Nya dengan sebuah maklumat:

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.

Pencerita kita menjelaskan kepada kita maksud perkataan itu: “… hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.” Ya, dulu Simon (“ketika engkau masih muda”), meski sudah menjadi murid Gusti Yesus sekalipun, masih semau gue. Itu membuatnya tidak kunjung siap untuk “mati dan memuliakan Allah.” Tapi mulai sekarang (“jika engkau sudah menjadi tua”), ia disiapkan untuk “mati dan memuliakan Allah.” Itu berarti: ia disiapkan untuk mengikuti Gusti Yesus, Junjungan dan Guru yang dikasihinya.

Sesudah mengatakan demikian Gusti Yesus berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku." Jelaslah sudah, Simon Petrus telah dipulihkan dan diberi amanat untuk mengikuti jejak Gusti Yesus, yakni menggembalakan domba-domba-Nya. Dalam menggembalakan domba-domba Gusti Yesus itulah ia akan menempuh jalan penderitaan dan kematian. Mengikut Gusti Yesus secara purna hingga ke Rumah Bapa. Dengan jalan itulah Allah dimuliakan melalui Simon Petrus.

Apa yang dapat kita pelajari dari kisah ini?

Pertama, murid atau pengikut Gusti Yesus, seperti Simon Petrus, adalah manusia biasa, dengan antusiasme, semangat, keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi Beliau, tetapi memiliki kelemahan juga. Demikian pula kita.

Kedua, Gusti Yesus tidak membuang siapapun di antara murid atau pengikut-Nya yang pernah gagal. Ia mengingatkan Simon akan kasih dan semangatnya yang mula-mula. Bagi Gusti Yesus, murid tetap murid, meski pernah gagal. Pengikut tetap pengikut, meski tak selalu berhasil. Terpenting, dalam kegagalan atau keberhasilan, tetap membuka diri kepada anugerah Allah, bukan malah membuang diri dari hadapan-Nya.

Ketiga, Gusti Yesus membimbing kita kepada kesadaran dan pengenalan diri. Ia ingin kita bisa mengatasi kesombongan kita, melampaui kedangkalan kita. Dalam kesadaran dan pengenalan diri, kita akan belajar rendah hati. Kita pun dimungkinkan untuk mengalami kekuatan anugerah Allah bekerja di dalam dan melalui kita.

Keempat, Gusti Yesus meneguhkan kita untuk menerima dan melaksanakan amanat-Nya. Untuk Petrus: menggembalakan domba-domba-Nya. Untuk kita, sesuai dengan karunia dan panggilan kita masing-masing. Dibutuhkan totalitas untuk mengemban amanat tersebut.

Kelima, melalui itu semua, kita belajar mengikut Gusti Yesus selama kita hidup, sampai akhirnya kita datang ke Rumah Bapa untuk tinggal bersama dengan Dia selama-lamanya. ***


Lemah Abang, 10-12 Mei 2020